Kamis, 27 November 2014

Cerdas Menyelesaikan Masalah



Kita harus yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Permasalahanya tinggal bagaimana seseorang itu mencari solusi dan cara menyelesaikannya. Sebagaimana setiap penyakit pasti ada obatnya. Permasalahanya tinggal bagaimana seseorang mencari obat dan cara menggunakan obat tersebut agar Allah menyembuhkan penyakit dari dirinya melalui perantara obat tersebut.

Setiap orang pasti punya masalah. Jika ada seseorang mengaku tidak punya masalah, maka sebenarnya salah satu masalahnya adalah dia merasa tidak punya masalah. Anak SD punya masalah. Semua pelajar SMP dan SMA, apalagi mahasiswa pasti punya masalah yang berbeda-beda. Demikian juga para guru, para orang tua, pegawai, karyawan, pejabat, dan semua orang pasti punya masalah yang berbeda-beda. Berat atau ringannya masalah tergantung pada bagaimana sudut pandang seseorang memandang masalahnya. Masalah kecil bisa jadi besar dan terasa sangat memberatkan jika ia menyikapinya sebagai masalah besar. Sebagai contoh seorang pelajar tidak mempunyai HP adalah masalah kecil. Tapi itu akan menjadi masalah besar, sangat memberatkan dan tekanan jika ia membesar-besarkan masalah kecil itu. Dia merasa dunia sempit karena semua temannya punya HP. Hingga banyak diberitakan di media massa karena tidak dibelikan HP seorang anak berani memarahi dan memukul orang tua, bahkan ada yang sampai nekad bunuh diri. Na’udzubillah min dzalik. Seorang pelajar punya keinginan yang kuat akan sesuatu, tapi keinginan tersebut tidak direspon oleh orang tua atau guru adalah masalah kecil, tapi menjadi tekanan serius jika ia membesar-besarkan masalah itu hingga mengunci kamar dan tidak mau masuk sekolah. Demikian juga sebaliknya masalah besar bisa jadi menjadi masalah kecil jika seseorang menyikapinya sebagai masalah kecil. Bahkan masalah besar itu tidak jadi masalah karena dia sudah terbiasa menghadapi masalah itu dan mampu ia selesaikan dengan baik. Sebagai contoh seorang anak yang sering ditinggal kedua orang tua pergi ke luar kota adalah masalah besar karena kurang mendapatkan kasih sayang orang tua. Tapi bagi anak berjiwa besar yang mampu menyelesaikan masalah itu dan mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan positif guna membahagiakan orang tua maka hal itu menjadi masalah kecil, bahkan tidak menjadi masalah. Karena itu dalam menyelesaikan masalah setiap orang atau manusia membutuhkan ilmu dan kecerdasan atau sifat fathonah. Dalam buku Cahaya Abadi Muhammad SAW: Kebanggan Umat Manusia, Muhammad Fethullah Gulen mengartikan fathonah dengan manthiq al-nubuwwah (logika kenabian). Demikian ini karena semua nabi pasti memiliki sifat fathonah. Yaitu pola nalar yang mencakup seluruh aspek mulai dari aspek roh, hati, perasaan jiwa, daya akal dan berbagai latifah dalam kesatuan tunggal yang utuh.

Rasulullah SAW adalah uswah hasanah bagi kita semua. Beliau sangat cerdas. Sampai Abbas Mahmud al-Aqqad seorang sastrawan Mesir terkenal menulis buku khusus tentang Abqoriyyah Muhammad (kejeniusan Nabi Muhammad). Bahkan seorang non muslim George Benard Shaw melontarkan pernyataan yang berbunyi,”Muhammad adalah sosok yang mampu memecahkan semua masalah termusykil yang sedang kita hadapi saat ini seringan menyeruput secangkir kopi.’ Memang beliau sangat luar biasa. Sejak umur 6 tahun beliau menjadi yatim piatu, tapi beliau tetap tegar. Ketika diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang miskin dan punya anak banyak, beliau tidak stress dan tidak juga merasa rendah diri. Tapi sebaliknya beliau tumbuh semakin kuat, bahkan menggembalakan kambing dengan imbalan uang beberapa dinar. Tatkala beberapa pemimpin kabilah berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan untuk meletakkan hajar aswad di tempatnya semula. Hampir saja mereka saling membunuh untuk mendapat kehormatan meletakkan hajar aswad. Beliau hadir sebagai al-amin yang mampu menyelesaikan perselisihan tersebut hanya dengan mengajak para pemimpin kabilah memegang ujung kain guna mengangkat hajar aswad menuju tempatnya, lalu beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di tempat semula. Sungguh, inilah cara penyelesaian masalah yang sangat cerdas dan jitu yang disukai oleh semua orang.
Teladan yang lain adalah Imam Syafi’i rahimahullah. Saat berumur 7 tahun sudah hafal Al-Qur’an dan 13 tahun hafal kitab hadits al-Muwaththa’. Meski demikian beliau pernah punya masalah, yaiu kelemahan menghafal. Bagi sebagian orang ini masalah kecil, tapi bagi Imam Syafi’i itu adalah masalah besar hingga melapor kepada gurunya Imam Waki’. Masalah ini beliau abadikan dalam sebuah bait yang sangat indah. Bait ini hingga sekarang tertulis dalam batu tulis dekat makam gurunya, Imam Waki’:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي. فَأَرْشَدَنِـي إِلَى تَرْكِ الْمَعَـــاصِي.
وَ أَخْبَرَنِـي بِأَنَّ اْلعِلْمَ نُوْرٌ. وَ نُوْرُ اللهِ لاَ يُهْدَى لِلْعَــــاصِيْ.
Aku laporkan kepada Guru Waki’ masalah lemahnya hafalanku.
Lalu beliau menasehatiku agar meninggalkan semua bentuk kemaksiatan.
Beliau memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah itu tidak akan dihidayahkan (diberikan) kepada ahli maksiat.

Kemampuan menyelesaikan masalah sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Tinggal kita mau mengasahnya lebih tajam atau membiarkan begitu saja hingga berkarat. Kata (البيان) al bayan pada ayat empat surat Al-Rahman secara bahasa berarti penjelasan. Kata tersebut dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti “potensi mengungkap” yakni kalam atau ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang ada dalam benak. Lebih lanjut, ulama ini mengatakan bahwa kalam bukan sekedar mewujudkan suara, dengan menggunakan rongga dada, tali suara, dan kerongkongan. Bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari kerongkongan akibat perbedaan makharij al-huruf atau tempat-tempat keluarnya huruf  dari mulut. Tetapi juga bahwa Allah Swt menjadikan manusia dengan mengilhaminya, yakni mampu memahami makna suara yang keluar itu. Ibnu al Qayyim lebih mengkhususkan al bayan ke dalam tiga tingkatan yang masing-masing didefinisikan dengan bayan :
  1. Bayan pertama adalah pandai berfikir yakni dapat memilah-milah informasi, bertafakkur, termasuk memecahkan berbagai masalah. Bentuk bayan pertama ini untuk hati (akal).
  2. Bayan kedua adalah pandai berbicara yakni mampu mengungkapkan informasi dan menerjemahkanya untuk orang lain, bayan kedua ini untuk telinga.
  3. Bayan ketiga adalah pandai menulis, yakni dapat menuliskan kata-kata sehingga orang yang melihat dapat mengerti maknanya seperti orang yang mendengar, bayan ini untuk mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar