Kamis, 27 November 2014

Cerdas Menyelesaikan Masalah



Kita harus yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Permasalahanya tinggal bagaimana seseorang itu mencari solusi dan cara menyelesaikannya. Sebagaimana setiap penyakit pasti ada obatnya. Permasalahanya tinggal bagaimana seseorang mencari obat dan cara menggunakan obat tersebut agar Allah menyembuhkan penyakit dari dirinya melalui perantara obat tersebut.

Setiap orang pasti punya masalah. Jika ada seseorang mengaku tidak punya masalah, maka sebenarnya salah satu masalahnya adalah dia merasa tidak punya masalah. Anak SD punya masalah. Semua pelajar SMP dan SMA, apalagi mahasiswa pasti punya masalah yang berbeda-beda. Demikian juga para guru, para orang tua, pegawai, karyawan, pejabat, dan semua orang pasti punya masalah yang berbeda-beda. Berat atau ringannya masalah tergantung pada bagaimana sudut pandang seseorang memandang masalahnya. Masalah kecil bisa jadi besar dan terasa sangat memberatkan jika ia menyikapinya sebagai masalah besar. Sebagai contoh seorang pelajar tidak mempunyai HP adalah masalah kecil. Tapi itu akan menjadi masalah besar, sangat memberatkan dan tekanan jika ia membesar-besarkan masalah kecil itu. Dia merasa dunia sempit karena semua temannya punya HP. Hingga banyak diberitakan di media massa karena tidak dibelikan HP seorang anak berani memarahi dan memukul orang tua, bahkan ada yang sampai nekad bunuh diri. Na’udzubillah min dzalik. Seorang pelajar punya keinginan yang kuat akan sesuatu, tapi keinginan tersebut tidak direspon oleh orang tua atau guru adalah masalah kecil, tapi menjadi tekanan serius jika ia membesar-besarkan masalah itu hingga mengunci kamar dan tidak mau masuk sekolah. Demikian juga sebaliknya masalah besar bisa jadi menjadi masalah kecil jika seseorang menyikapinya sebagai masalah kecil. Bahkan masalah besar itu tidak jadi masalah karena dia sudah terbiasa menghadapi masalah itu dan mampu ia selesaikan dengan baik. Sebagai contoh seorang anak yang sering ditinggal kedua orang tua pergi ke luar kota adalah masalah besar karena kurang mendapatkan kasih sayang orang tua. Tapi bagi anak berjiwa besar yang mampu menyelesaikan masalah itu dan mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan positif guna membahagiakan orang tua maka hal itu menjadi masalah kecil, bahkan tidak menjadi masalah. Karena itu dalam menyelesaikan masalah setiap orang atau manusia membutuhkan ilmu dan kecerdasan atau sifat fathonah. Dalam buku Cahaya Abadi Muhammad SAW: Kebanggan Umat Manusia, Muhammad Fethullah Gulen mengartikan fathonah dengan manthiq al-nubuwwah (logika kenabian). Demikian ini karena semua nabi pasti memiliki sifat fathonah. Yaitu pola nalar yang mencakup seluruh aspek mulai dari aspek roh, hati, perasaan jiwa, daya akal dan berbagai latifah dalam kesatuan tunggal yang utuh.

Rasulullah SAW adalah uswah hasanah bagi kita semua. Beliau sangat cerdas. Sampai Abbas Mahmud al-Aqqad seorang sastrawan Mesir terkenal menulis buku khusus tentang Abqoriyyah Muhammad (kejeniusan Nabi Muhammad). Bahkan seorang non muslim George Benard Shaw melontarkan pernyataan yang berbunyi,”Muhammad adalah sosok yang mampu memecahkan semua masalah termusykil yang sedang kita hadapi saat ini seringan menyeruput secangkir kopi.’ Memang beliau sangat luar biasa. Sejak umur 6 tahun beliau menjadi yatim piatu, tapi beliau tetap tegar. Ketika diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang miskin dan punya anak banyak, beliau tidak stress dan tidak juga merasa rendah diri. Tapi sebaliknya beliau tumbuh semakin kuat, bahkan menggembalakan kambing dengan imbalan uang beberapa dinar. Tatkala beberapa pemimpin kabilah berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan untuk meletakkan hajar aswad di tempatnya semula. Hampir saja mereka saling membunuh untuk mendapat kehormatan meletakkan hajar aswad. Beliau hadir sebagai al-amin yang mampu menyelesaikan perselisihan tersebut hanya dengan mengajak para pemimpin kabilah memegang ujung kain guna mengangkat hajar aswad menuju tempatnya, lalu beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di tempat semula. Sungguh, inilah cara penyelesaian masalah yang sangat cerdas dan jitu yang disukai oleh semua orang.
Teladan yang lain adalah Imam Syafi’i rahimahullah. Saat berumur 7 tahun sudah hafal Al-Qur’an dan 13 tahun hafal kitab hadits al-Muwaththa’. Meski demikian beliau pernah punya masalah, yaiu kelemahan menghafal. Bagi sebagian orang ini masalah kecil, tapi bagi Imam Syafi’i itu adalah masalah besar hingga melapor kepada gurunya Imam Waki’. Masalah ini beliau abadikan dalam sebuah bait yang sangat indah. Bait ini hingga sekarang tertulis dalam batu tulis dekat makam gurunya, Imam Waki’:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي. فَأَرْشَدَنِـي إِلَى تَرْكِ الْمَعَـــاصِي.
وَ أَخْبَرَنِـي بِأَنَّ اْلعِلْمَ نُوْرٌ. وَ نُوْرُ اللهِ لاَ يُهْدَى لِلْعَــــاصِيْ.
Aku laporkan kepada Guru Waki’ masalah lemahnya hafalanku.
Lalu beliau menasehatiku agar meninggalkan semua bentuk kemaksiatan.
Beliau memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah itu tidak akan dihidayahkan (diberikan) kepada ahli maksiat.

Kemampuan menyelesaikan masalah sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Tinggal kita mau mengasahnya lebih tajam atau membiarkan begitu saja hingga berkarat. Kata (البيان) al bayan pada ayat empat surat Al-Rahman secara bahasa berarti penjelasan. Kata tersebut dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti “potensi mengungkap” yakni kalam atau ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang ada dalam benak. Lebih lanjut, ulama ini mengatakan bahwa kalam bukan sekedar mewujudkan suara, dengan menggunakan rongga dada, tali suara, dan kerongkongan. Bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari kerongkongan akibat perbedaan makharij al-huruf atau tempat-tempat keluarnya huruf  dari mulut. Tetapi juga bahwa Allah Swt menjadikan manusia dengan mengilhaminya, yakni mampu memahami makna suara yang keluar itu. Ibnu al Qayyim lebih mengkhususkan al bayan ke dalam tiga tingkatan yang masing-masing didefinisikan dengan bayan :
  1. Bayan pertama adalah pandai berfikir yakni dapat memilah-milah informasi, bertafakkur, termasuk memecahkan berbagai masalah. Bentuk bayan pertama ini untuk hati (akal).
  2. Bayan kedua adalah pandai berbicara yakni mampu mengungkapkan informasi dan menerjemahkanya untuk orang lain, bayan kedua ini untuk telinga.
  3. Bayan ketiga adalah pandai menulis, yakni dapat menuliskan kata-kata sehingga orang yang melihat dapat mengerti maknanya seperti orang yang mendengar, bayan ini untuk mata.

Kamis, 13 November 2014

Istiqomah Menegakkan Kebenaran



Konsisten menegakkan kebenaran itu suatu yang mudah untuk dibicarakan, didiskusikan dan diceramahkan. Tapi tidak mudah saat dijalankan dalam kehidupan nyata. Konsisten menegakkan kebenaran itu membutuhkan keyakinan tanpa ada keraguan,
Sebagaimana firman Allah surat Al-Baqarah ayat 147:
الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِ‌ينَ ﴿١٤٧
Kebenaran  itu (wahai Muhammad), adalah datangnya dari Tuhanmu; oleh itu jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan orang-orang yang ragu-ragu. (QS. Al-Baqarah: 147)
Konsisten menegakkan kebenaran membutuhkan keinginan kuat tanpa putus asa, komitmen tinggi, serta perjuangan yang tidak kenal lelah dan pantang menyerah. Sebagaimana firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256:

لَا إِكْرَ‌اهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّ‌شْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ‌ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْ‌وَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)

Permasalahannya adalah kebenaran apa yang harus konsisten kita tegakkan? Lalu bagaimana cara konsisten menegakkan kebenaran? Jika jawabannya adalah kebenaran ajaran Islam, maka harus ditanyakan lagi ajaran Islam yang mana? Jika ajaran Islam yang menjadi syariat Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih, apalagi mutawatir, maka hukumnya wajib bagi kita untuk menegakkan kebenaran syariat dengan sepenuh hati dengan cara terbaik.

Tapi jika ajaran Islam yang difatwakan oleh para kyai, penceramah, ustadz, ormas dan para pemikir lainnya yang mengatasnamakan agama, maka harus kita lakukan tabayyun. Fatwa itu harus diteliti lebih dulu, dikaji ulang, disaring, dipilah dan dipilih dengan barometer Al-Qur’an dan hadits pastinya. Jika sesuai dan tidak bertentangan maka kewajiban kita harus menegakkan kebanaran itu. Seperti seruan Resolusi Jihad NU melawan penjajah Belanda dan Inggris pada tanggal 22 Oktober tahun 1945, maka kita tegakkan kebenaran dengan wajib melawan penjajah. Hingga 10 November dijadikan hari pahlawan karena banyak yang gugur memenuhi panggilan jihad tersebut. Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang pemberantasan segala bentuk penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat) juga kita tegakkan guna menjaga keimanan dari kemusyrikan dan kekufuran. Dan masih banyak lagi fatwa MUI tentang masalah-masalah kontemporer.

Rasulullah adalah teladan dalam konsistensi menegakkan kebenaran Islam di tengah mayoritas kaum musyrik Quraisy di Mekkah. Beliau menegakkan kebenaran dengan cara-cara terbaik, dengan kesabaran, kejujuran, dan akhlak mulia.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh oleh orang Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW. Namun upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, baik secara diplomatik dan bujuk rayuan maupun tindakan kekerasan secara fisik selalu gagal. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami meminta anda memilih satu diantara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami untuk dibunuh. Dengan demikian, anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan.“ Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “ Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya. “ Dalam riwayat lain beliau berkata,”Demi Allah, walapun mereka melatakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriki agar suapaya aku meninggalkan dakwah ini, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah bin Rabiah, seorang ahli bahasa, ahli retorika dan ahli diplomasi, untuk membujuk Nabi SAW. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad SAW bersedia menghentikan dakwahnya. Utbah berkata, ‘Keponakanku, jika dengan apa yang engkau bawa ini, engkau menginginkan harta, kami akan mengumpulkan seluruh harta kami agar engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau rnenginginkan kehormatan, kami mengangkatmu sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan tanpa denganmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, engkau kami angkat sebagai raja. Jika yang datang kepadamu adalah sebangsa jin yang tidak mampu engkau usir, kita mencarikan dokter untukmu dan mengeluarkan harta kami hingga engkau sembuh darinya, karena boleh jadi jin mengalahkan orang yang dimasukinya hingga ia sembuh darinya.’
Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Abu Al-Walid?’Utbah menjawab, ‘Ya, sudah.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Kalau begitu, dengar apa yang akan aku katakan.’ Kemudian Rasulullah SAW membacakan surat Fusshilat hingga selesai . Ketika Rasulullah SAW sampai pada ayat Sajdah, beliau sujud, kemudian beliau bersabda, ‘Hai Utbah, engkau telah mendengarkan apa yang baru saja engkau dengar. Sekarang, terserah kepadamu tentang apa yang baru engkau dengar tadi
Puncak dari semua itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap bani Hasyim, yang merupakan tempat Nabi berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat Islam di kota Mekah pada waktu itu
Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling konsisten dan giat menegakkan kebenaran, menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.  Dialah Abu Dzar al-Ghifary, seorang yang berasal dari kaum Ghifar, kaum yang identik dengan kejahatan dan perampokan.

Di masa Khalifah Utsman, pendapat keras Abu Dzar tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, Abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.

Dukungan Abu Dzar kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian orang-orang kaya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikap inilah yang dipuji oleh Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggil. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi SAW ternyata benar. Hingga akhir hayatnya, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh. Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaum Ghifar yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam.

Kamis, 06 November 2014

Mencintai Rasulullah SAW

Pekan lalu ada pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswa dan santri STKIP Al-Hikmah tentang cinta. Ya... tentang bagaimana mencintai Rasulullah SAW? Pikiran saya lalu melayang dan merenungkan jawaban yang tidak mudah. Karena mencintai Rasulullah SAW itu mudah untuk diucapkan dan diceramahkan, tapi tidak mudah untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Apalagi Rasulullah SAW juga sudah lama wafat dan meninggalkan dunia pada 14 abad lalu. Tapi saya yakin bahwa cinta tidak harus bertemu secara fisik. Cinta juga tidak harus bersama. Cinta adalah rasa yang indah bukan oleh pertemuan fisik, sering berkomunikasi, jarak yang dekat, atau masa yang dekat. Cinta itu menembus batasan segala dimensi. Cinta itu mendobrak batasan fisik, jarak, waktu dan ruang.
Mencintai Rasulullah tidak mungkin tanpa mencintai Allah lebih dahulu. Karena itu mencintai Allah harus didahulukan dan diprioritaskan. Bukankah syahadat umat Islam juga mendahulukan La ilaha Illa Allah (Tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah) atas syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Mencintai Allah guna mencapai ridho-Nya adalah tujuan. Sementara mencintai Rasulullah SAW dan mengikuti sunah beliau adalah jalan yang ditetapkan oleh Allah untuk mencintai-Nya. Beliaulah suri tauladan yang baik dalam mencintai Allah dan semua akhlak mulia manusia. Rasulullah SAW juga disebut sebagai Habiburrahman (Kekasih Allah yang Maha Pengasih), karena istiqomah beribadah dan dzikir mengingat Allah, mohon ampunan dari dosa lebih dari 100 kali setiap hari, serta istiqomah tahajjud hingga kakinya bengkak meski Allah telah mengampuni dosa yang lalu maupun yang akan datang. Jadi, sekali lagi tidak mungkin mencapai tujuan cinta Allah tanpa jalan Muhammad Rasulullah.
Sebenarnya menjadi kekasih yang mencintai Rasulullah SAW itu sederhana. Sebagaimana dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah meneteskan air mata dan menangis pada suatu hari, lalu para sahabat bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Rasulullah?" beliau menjawab,"Aku merindukan para kekasihku (yang mencintai aku)" Para sahabat berkata lagi,"Bukankah kami adalah para kekasihmu, wahai Rasulullah?" Beliau lalu menjelaskan,"Bukan. Kalian adalah para sahabatku. Adapun para kekasihku adalah suatu kaum yang datang sesudahku dan beriman kepadaku meski tidak pernah melihatku." Sungguh beriman kepada beliau sesudah beliau wafat adalah sederhana dan mudah. Bahkan, mungkin semua umat Islam di dunia saat ini termasuk para kekasih Rasulullah SAW. Pertanyaanya kemudian adalah apakah mereka benar-benar mencintai Rasulullah SAW? Apa bukti cinta kepada Rasulullah SAW?
Pada zaman dahulu, generasi pertama para sahabat telah beriman kepada Rasulullah dan telah membuktikan cinta mereka kepada Allah dan Rasulullah SAW. Bukti cinta Abu Bakar ra adalah menginfakkan hampir seluruh harta bendanya di jalan Allah, membenarkan cerita Rasulullah SAW tentang peristiwa Isra' mi'raj tatkala semua orang mendustakannya, menjaga beliau saat di gua Tsur dari berbagai ancaman hingga rela digigit ular gurun demi keselamatan kekasihnya. Umar bin Khattab ra menegakkan keadilan karena Allah, berjuang di sisi Rasulullah kapanpun dibutuhkan, keislamannya membuat umat Islam menjadi lebih kuat, siang malamnya digunakan hanya untuk beribadah dan menyelesaikan urusan umat, serta wafat terbunuh saat mengimami shalat subuh. Utsman bin Affan ra terkenal sebagai penghafal Al-Qur'an yang bibirnya basah oleh ayat-ayat Al-Qur'an, sebagian besar hartanya diinfakkan di jalan Allah, sangat pemalu dan banyak berdzikir, wafat terbunuh saat membaca Al-Qur'an. Ali bin Abi Thalib ra rela menggantikan Rasulullah SAW tidur di atas ranjang saat para pemuda Quraisy ingin membunuh Rasulullah sebelum berangkat hijrah, mempertaruhkan jiwanya di hampir semua medan perang, zuhud dan wawasan keislamannya sulit tertandingi, wafat terbunuh sebelum mengimami shalat subuh. Bilal bin Rabah ra rela disiksa hingga hanya mampu berkata "Ahad...Ahad...Ahad", menjaga kesucian dengan mudawamah wudhu dan selalu meneteskan air mata saat mengumandangkan adzan khususnya saat nama Rasulullah disebut setelah beliau wafat hingga pernah menolak mengumandangkan adzan. Lalu bagaimana dengan kita? Apa bukti cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya?
Cinta Rasulullah SAW kepada umat Islam begitu mendalam. Beliau rela bolak balik menghadap Allah hanya untuk meringankan beban shalat hingga sampai lima waktu dalam sehari dan memberikan banyak keringan dan kemudahan yang proporsional dalam beragama. Ingatkah kita bagaimana Rasulullah SAW dilempari kerikil dan kotoran hewan, bahkan dilempari batu besar hingga berdarah-darah di Thaif, tapi beliau hanya berdo'a, "Ya Allah ampunilah mereka dan berikanlah dari mereka keturunan yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Ya Allah tunjukkanlah mereka kepada jalan yang lurus. Sungguh mereka adalah kaum yang tidak mengetahui." Ingatkah kita bagaimana Rasulullah SAW menahan rasa lapar dengan meletakkan batu di perutnya. Dan yang lebih membuat kita tak berdaya dan limbung tatkala mengingat bagaimana Rasulullah masih saja mengingat umatnya di saat-saat mendekati sakaratul maut dan selalu mendo'akan umat Islam. Jika demikian dahsyatnya umat Islam di hati Rasulullah, maka dimanakah Rasulullah di hati kita?
Rasulullah pernah bersabda,"Seseorang akan menjadi hamba kepada apa-apa yang dicintainya." dan diriwayat lain "Seseorang akan bersama orang yang dicintai." karena itu kepada siapa kita mencinta, karena apa dan untuk siapa, adalah hal yang penting dalam hidup. Jika kita mencintai Allah lebih dari segalanya dan menjadi hamba-Nya yang taat, maka itulah cinta sejati. Itulah cinta sesungguhnya. Jika kita mencintai RAsulullah lebih dari cinta kita kepada diri sendiri, orang tua, istri/suami, anak-anak dan orang lain, maka itulah cinta yang timbul dari iman sesungguhnya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang mendapatkan tiga perkara dalam dirinya, maka ia telah mendapatkan manisnya keimanan; yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai dan membenci orang lain karena Allah, serta benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhori dan Muslim)
Agar cinta kita kepada Rasulullah terus tumbuh dan lebih menguat, maka mari mempelajari sirah Nabi Muhammad SAW lebih mendalam dan menghayatinya. Mari kita bersholawat dan mendo'akan kebaikan kepada beliau. Mari berusaha sekuat tenaga untuk meneladani beliau dengan menjalankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari. Mari hidup dalam setiap helaan nafas dengan dzikrullah dan mencintai Rasulullah SAW.



Rabu, 05 November 2014

Hikmah Kejadian

Di beberapa minggu ini banyak peristiwa dan kejadian terjadi di sekitar rumah. Di polsek Sukodono terjadi kejadian meninggalnya seorang tahanan bernama M. Imron Zainuddin akibat penganiayaan. Siapa yang menganiaya masih belum jelas dan masih dalam proses penyelidikan oleh tim dari Polda Jatim. Kejadian ini menyulut kemarahan warga Kebon Agung dan sekitarnya. Mereka berdemo di depan kantor Polsek Sukodono dengan membakar ban dan memblokir jalan. Mereka menuntut pengusutan oknum polisi yang melakukan tindakan kekerasan dan penganiayaan. Mereka memberi waktu satu minggu. Jika masalah dapat diselesaikan mereka menuntut keadilan, tapi jika belum bisa diselesaikan mereka akan berdemo dengan warga yang lebih banyak. Di desa lain juga terjadi tawuran antar pemuda hingga mengakibatkan dua orang lebih cepat menghadap Allah. Selain itu banyak terjadi pencurian sepeda motor, minum minuman keras, perjudian, dan aneka perbuatan haram lain yang diharamkan oleh Allah. Saya jadi teringat nasehat dari seorang ulama yang pernah saya kagumi, yaitu Syeikh Muhammad al-Mutawalli al-Sya'rawi, seorang ulama yang ketika wafat beliau dishalati dan diantar oleh ribuan bahkan jutaan orang menuju peristirahatan terakhir. Beliau pernah berkata,"Sesuatu yang lebih berbahaya dari melakukan tindakan haram adalah ketika Allah mengharamkan bagimu nikmat merasakan kepedihan saat melakukan tindakan haram." Artinya jika seseorang tidak bisa merasakan kepedihan dan kepahitan saat melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah, maka itu adalah bencana besar yang lebih berbahaya dari perbuatan haram tersebut. Saya jadi berdo'a, "Ya Allah jadikanlah kami mencintai keimanan dan hiaskanlah keimanan itu pada hati kami, dan jadikanlah kami membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Dan jadikanlah kami termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lurus lagi mendapatkan petunjuk-Mu, amin."


Selasa, 04 November 2014

Beragama Islam itu Mudah




Beragama Islam itu Mudah, Maka Jangan Dipersulit
Beragama Islam itu Mudah, tapi Jangan Dimudah-Mudahkan
Beragama Islam itu Mudah, tapi Jangan Dipermainkan, Apalagi Dilecehkan
Beragama Islam itu Mudah, Maka Lakukan Yang Terbaik, Bukan Yang Termudah

Sesungguhnya Islam itu agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan. Kesimpulan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hanya saja banyak orang salah paham dan meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya.  Mereka mencari pendapat para ulama yang paling ringan dan pendapat pemikir liberal dengan alasan penyesuaian zaman. Bagi mereka Islam harus menyesuaikan dengan zaman, bukan zaman yang harus menyesuaikan dengan Islam. Fatalnya, mereka mendasarkan pendapat pada prinsip kemudahan Islam dan toleransi, sekalipun pendapat tersebut sangat lemah dan bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka juga berpedoman pada ungkapan ‘ikhtilafu ummati rahmah li al-nas’ (perselisihan umatku adalah rahmat bagi manusia). Padahal hadits ini sangat lemah, bahkan la asla lahu (tidak ada dasar). Di antara contoh-contoh ide, gagasan, pikiran dan pendapat yang kontroversial, sebagai berikut:
  • Membolehkan wanita nikah tanpa wali karena mengikuti Abu Hanifah, dan para sahabatnya Zafar, Sya’bi, dan al-Zuhri.
  • Memakan binatang buas karena mengikuti madzhab Malikiyah yang memakruhkan binatang buas, atau tidak mengharamkan.
  • Tidak memakai jilbab karena memakai jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. Mengikuti Al-Asymawi di buku Kritik Atas Jilbab dan para pemikir liberal lainnya.
  • Musdah mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi Hukum Islam tahun 2004 yang isinya: pernikahan bukan ibadah, poligami haram, boleh menikah beda agama, boleh kawin kontrak…dsb.

Inilah keadaan mengkhawatirkan pada umat muslim di dunia. Oleh karena itu, perlu  mendudukkan masalah ini agar umat muslim memahaminya dengan baik dan tidak salah paham dengan prinsip kemudahan Islam.
Dalil bahwa Islam itu mudah dan menganjurkan kemudahan, di antaranya:
a. Nash Al-Qur’an
... يُرِ‌يدُ اللَّـهُ بِكُمُ الْيُسْرَ‌ وَلَا يُرِ‌يدُ بِكُمُ الْعُسْرَ‌ .... ﴿١٨٥
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqoroh: 185)
يُرِ‌يدُ اللَّـهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا ﴿٢٨
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)
... هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَ‌جٍ ۚ ... ﴿٧٨
Dia telah menguji kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Haj: 78)
b. Nash Hadits
Nabi SAW bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama ini mudah” (HR. Bukhori: 39)
Tatkala Nabi mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya:
يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا, وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا, وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا
“Hendaknya kalian mempermudah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat lari,  saling membantu dan jangan berselisih” (HR. Bukhori 3038 dan Muslim 1733)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ : مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا, فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Aisyah berkata: “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara kecuali beliau memilih yang paling ringan selagi hal tersebut bukan dosa. Adapun bila hal tersebut merupakan dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya”. (HR. Bukhori 3560 dan Muslim 2327)
Kemudahan itu bila Sesuai dengan Dalil
Perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan berarti menyepelekan sebagian syari’at Islam, mencari-cari pendapat lemah sebagian ulama, menyebarkan pendapat-pendapat controversial. Kemudahan Islam tetap dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai contoh saja:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ : هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَأَجِبْ
Dari Abu Hurairah berkata: Pernah ada seorang lelaki buta datang kepada kepada Nabi seraya mengatakan: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid, lalu orang tersebut meminta agar Nabi memberikan keringanan baginya untuk sholat di rumahnya. Nabipun akhirnya memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut berpaling, Nabi memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan sholat? Dia menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut”. (HR. Muslim 653)
Orang buta tersebut telah mengajukan alasan-alasan yang begitu kuat, namun Nabi SAW tidak memberikan udzur baginya untuk sholat di rumahnya. Beliau tetap menyarankan untuk pergi ke masjid untuk sholat berjamaah. Bagaimana dengan umat Islam zaman sekarang yang tidak buta dan masih kuat dengan alas an sibuk pekerjaan berani meninggalakan sholat berjamaah?
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ, وَأَنَّهَا مَرِضَتْ, فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا, فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا, فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Aisyah bahwa seorang gadis Anshor menikah lalu dia sakit sehingga rambutnya rontok. Akhirnya mereka ingin untuk menyambung rambutnya, maka merekapun bertanya kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda: “Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan meminta untuk disambung rambutnya” (HR. Bukhori 5205, 5934 dan Muslim 2123)
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak memperbolehkan wanita tersebut untuk menyambung rambutnya padahal dia pengantin baru yang perlu berhias untuk suaminya. Bagaimana dengan para pengantin muslimah di Jawa dan beberapa daerah di Indonesia yang terbiasa memakai gelung (rambut tambahan) dengan alasan tradisi dan berhias diri?
Para ulama salaf telah memberikan peringatan keras terhadap seseorang yang mencari-cari kemudahan, memudah-mudahkan syari’at, dan mempermainkan syariat agama dengan pendapat-pendapat kontroversial.
  1. Hasan al-Bashri berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah”. (Adab Syari’yyah Ibnu Muflih 2/77).
  2. Imam Ahmad menegaskan bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq. (Al-Inshof al-Mardawi 29/350.)
  3. Bahkan Imam Ibnu Hazm menceritakan ijma (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab tanpa bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal. (Marotibul Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot 4/134.)
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim harus berhati-hati, waspada penuh rasa khawatir (khasyah), dan takut kepada Allah dan adzab-Nya. Sehingga ia tidak menggampangkan diri untuk mencari-cari pendapat paling mudah dan menyebarkan pendapat-pendapat kontroversial, karena hal itu bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai pemainan dan senda gurau.
Dalam kitab al-Muwafaqot 4/222, yang ditahqiq oleh Masyhur bin Hasan bahwa Imam Syathibi[1] menyebutkan beberapa dampak negatif mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:
  1. Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi mengikuti perselisihan.
  2. Meremehkan agama
  3. Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari ijma’ ulama.
  4. Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang bukan maklum.
  5. Merusak undang-undang politik syar’i yang dibangun di atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan.
Para ulama telah meletakkan beberapa syarat dan batasan untuk melaksanakan prinsip kemudahan Islam,[2] di antaranya:
  1. Benar-benar harus ada udzur (halangan) yang membolehkan mengambil keringanan.
  2. Adanya dalil syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang membolehkan untuk mengambil keringanan, sebab keringanan yang hakiki adalah dengan mengikuti dalil bukan dengan pertentangan dan perselisihan dengan dalil.
  3. Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampui batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
Demikianlah syarat dan batasan dalam melaksanakan prinsip kemudahan dalam beragama Islam, yang diletakkan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil, sehingga menjadikan mereka bisa meletakkan perkara pada tempatnya. Semoga Allah memudahkan segala urusan umat Islam, mempersatukan mereka dalam aqidah dan dakwah, dan menuntun menuju hidayah dan ridho-Nya. Amin.


[1] Imam Syatibi, kitab al-Muwafaqot 4, tahqiq Masyhur bin Hasan. H.222,
[2] Lihat Qowaidul Ahkam al-Izzu bin Abdus Salam 2/7, Al-Asybah wa Nadhoir as-Suyuthi hlm. 80-81, al-Muwafaqot asy-Syathibi 1/302-303, Dhowabit al-Maslahah al-Buthi hlm. 278, Rof’ul Haroj Ibnu Humaid hlm. 143-146, Manhaj Taisir al-Mu’ashir ath-Thowil hlm. 55-56.