Kita harus
yakin bahwa setiap masalah pasti ada solusinya. Permasalahanya tinggal
bagaimana seseorang itu mencari solusi dan cara menyelesaikannya. Sebagaimana
setiap penyakit pasti ada obatnya. Permasalahanya tinggal bagaimana seseorang mencari
obat dan cara menggunakan obat tersebut agar Allah menyembuhkan penyakit dari
dirinya melalui perantara obat tersebut.
Setiap orang
pasti punya masalah. Jika ada seseorang mengaku tidak punya masalah, maka
sebenarnya salah satu masalahnya adalah dia merasa tidak punya masalah. Anak SD
punya masalah. Semua pelajar SMP dan SMA, apalagi mahasiswa pasti punya masalah
yang berbeda-beda. Demikian juga para guru, para orang tua, pegawai, karyawan,
pejabat, dan semua orang pasti punya masalah yang berbeda-beda. Berat atau
ringannya masalah tergantung pada bagaimana sudut pandang seseorang memandang
masalahnya. Masalah kecil bisa jadi besar dan terasa sangat memberatkan jika ia
menyikapinya sebagai masalah besar. Sebagai contoh seorang pelajar tidak
mempunyai HP adalah masalah kecil. Tapi itu akan menjadi masalah besar, sangat
memberatkan dan tekanan jika ia membesar-besarkan masalah kecil itu. Dia merasa
dunia sempit karena semua temannya punya HP. Hingga banyak diberitakan di media
massa karena tidak dibelikan HP seorang anak berani memarahi dan memukul orang
tua, bahkan ada yang sampai nekad bunuh diri. Na’udzubillah min dzalik. Seorang
pelajar punya keinginan yang kuat akan sesuatu, tapi keinginan tersebut tidak
direspon oleh orang tua atau guru adalah masalah kecil, tapi menjadi tekanan
serius jika ia membesar-besarkan masalah itu hingga mengunci kamar dan tidak
mau masuk sekolah. Demikian juga sebaliknya masalah besar bisa jadi menjadi
masalah kecil jika seseorang menyikapinya sebagai masalah kecil. Bahkan masalah
besar itu tidak jadi masalah karena dia sudah terbiasa menghadapi masalah itu
dan mampu ia selesaikan dengan baik. Sebagai contoh seorang anak yang sering
ditinggal kedua orang tua pergi ke luar kota adalah masalah besar karena kurang
mendapatkan kasih sayang orang tua. Tapi bagi anak berjiwa besar yang mampu
menyelesaikan masalah itu dan mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan positif
guna membahagiakan orang tua maka hal itu menjadi masalah kecil, bahkan tidak menjadi
masalah. Karena itu dalam menyelesaikan masalah setiap orang atau manusia
membutuhkan ilmu dan kecerdasan atau sifat fathonah. Dalam buku Cahaya Abadi
Muhammad SAW: Kebanggan Umat Manusia, Muhammad Fethullah Gulen mengartikan fathonah
dengan manthiq al-nubuwwah (logika kenabian). Demikian ini karena semua
nabi pasti memiliki sifat fathonah. Yaitu pola nalar yang mencakup seluruh
aspek mulai dari aspek roh, hati, perasaan jiwa, daya akal dan berbagai latifah
dalam kesatuan tunggal yang utuh.
Rasulullah
SAW adalah uswah hasanah bagi kita semua. Beliau sangat cerdas. Sampai
Abbas Mahmud al-Aqqad seorang sastrawan Mesir terkenal menulis buku khusus
tentang Abqoriyyah Muhammad (kejeniusan Nabi Muhammad). Bahkan seorang non
muslim George Benard Shaw melontarkan pernyataan yang berbunyi,”Muhammad adalah
sosok yang mampu memecahkan semua masalah termusykil yang sedang kita hadapi
saat ini seringan menyeruput secangkir kopi.’ Memang beliau sangat luar biasa.
Sejak umur 6 tahun beliau menjadi yatim piatu, tapi beliau tetap tegar. Ketika
diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang miskin dan punya anak banyak, beliau tidak
stress dan tidak juga merasa rendah diri. Tapi sebaliknya beliau tumbuh semakin
kuat, bahkan menggembalakan kambing dengan imbalan uang beberapa dinar. Tatkala
beberapa pemimpin kabilah berselisih tentang siapa yang berhak mendapat
kehormatan untuk meletakkan hajar aswad di tempatnya semula. Hampir saja mereka
saling membunuh untuk mendapat kehormatan meletakkan hajar aswad. Beliau hadir
sebagai al-amin yang mampu menyelesaikan perselisihan tersebut hanya dengan
mengajak para pemimpin kabilah memegang ujung kain guna mengangkat hajar aswad
menuju tempatnya, lalu beliau mengambil batu itu dan meletakkannya di tempat
semula. Sungguh, inilah cara penyelesaian masalah yang sangat cerdas dan jitu
yang disukai oleh semua orang.
Teladan yang
lain adalah Imam Syafi’i rahimahullah. Saat berumur 7 tahun sudah hafal
Al-Qur’an dan 13 tahun hafal kitab hadits al-Muwaththa’. Meski demikian beliau
pernah punya masalah, yaiu kelemahan menghafal. Bagi sebagian orang ini masalah
kecil, tapi bagi Imam Syafi’i itu adalah masalah besar hingga melapor kepada
gurunya Imam Waki’. Masalah ini beliau abadikan dalam sebuah bait yang sangat
indah. Bait ini hingga sekarang tertulis dalam batu tulis dekat makam gurunya,
Imam Waki’:
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِي. فَأَرْشَدَنِـي
إِلَى تَرْكِ الْمَعَـــاصِي.
وَ أَخْبَرَنِـي بِأَنَّ اْلعِلْمَ نُوْرٌ. وَ نُوْرُ
اللهِ لاَ يُهْدَى لِلْعَــــاصِيْ.
Aku laporkan kepada Guru Waki’ masalah lemahnya
hafalanku.
Lalu beliau menasehatiku agar meninggalkan semua
bentuk kemaksiatan.
Beliau memberitahukan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya
Dan cahaya Allah itu tidak akan dihidayahkan
(diberikan) kepada ahli maksiat.
Kemampuan
menyelesaikan masalah sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Tinggal kita mau
mengasahnya lebih tajam atau membiarkan begitu saja hingga berkarat. Kata (البيان) al
bayan pada ayat empat surat Al-Rahman secara bahasa berarti penjelasan.
Kata tersebut dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti “potensi mengungkap”
yakni kalam atau ucapan yang dengannya dapat terungkap apa yang ada
dalam benak. Lebih lanjut, ulama ini mengatakan bahwa kalam bukan
sekedar mewujudkan suara, dengan menggunakan rongga dada, tali suara, dan
kerongkongan. Bukan juga hanya dalam keanekaragaman suara yang keluar dari
kerongkongan akibat perbedaan makharij al-huruf atau tempat-tempat
keluarnya huruf dari mulut. Tetapi juga bahwa Allah Swt menjadikan
manusia dengan mengilhaminya, yakni mampu memahami makna suara yang keluar itu.
Ibnu al Qayyim lebih mengkhususkan al bayan ke dalam tiga
tingkatan yang masing-masing didefinisikan dengan bayan :
- Bayan pertama adalah pandai berfikir yakni dapat memilah-milah informasi, bertafakkur, termasuk memecahkan berbagai masalah. Bentuk bayan pertama ini untuk hati (akal).
- Bayan kedua adalah pandai berbicara yakni mampu mengungkapkan informasi dan menerjemahkanya untuk orang lain, bayan kedua ini untuk telinga.
- Bayan ketiga adalah pandai menulis, yakni dapat menuliskan kata-kata sehingga orang yang melihat dapat mengerti maknanya seperti orang yang mendengar, bayan ini untuk mata.