Jumat, 30 Januari 2015

Menyikapi Valentine's Day



Perayaan Valentine’s Day adalah bagian dari syiar agama Nasrani. Ikut-ikutan merayakan adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, merusak aqidah dan akhlak. Mempropagandakan tradisi dan budaya Valentin’s Day berarti mensyiarkan kefasikan, kemaksiatan dan budaya kaum pagan ‘menuhankan’ seorang manusia. Mengapa begitu?

Pertama, banyak dalil naqli dari Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang memerintahkan kita untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak syirik dan menyebarkan kesyirikan, serta tidak menerupai tradisi dan budaya kaum kafir. Allah berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَ‌كْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِ‌ينَ ﴿٦٥ بَلِ اللَّـهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِ‌ينَ ﴿٦٦

“Dan sesungguhny telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar: 65-66)
Dan Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.

Kedua, Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah menunjukkan bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani. Bahkan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day. Sebagaimana The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut:
Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari .
Lebih detailnya bahwa kata valentine berasal dari nama seorang pendeta, santo valentine (seseorang yang mati karena mempertahankan kepercayaan dan keyakinan) untuk memberkati pasangan laki-laki dan perempuan. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syahid') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelar Saint atau Santo (orang suci). Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya dengan penguasa Romawi pada waktu itu yaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan St. Valentine, yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'. Paus Gelasius I menjadikan hari perayaan gereja sejak tahun 496 M.

Ketiga, Ada semacam proses sinkritisme budaya dan kesepakatan untuk menyatukan tradisi Romawi Kuno yang pagan, ritual keagamaan Nasrani dan budaya Eropa. Sejak abad 16 M, upacara keagamaan Valentine’s Day tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Secara kronologis Hari Valentine dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari. Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani, pesta 'supercalis' yang sangat digemari tersebut ditradisikan dalam upacara kematian St. Valentine oleh pihak Gereja. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' lalu ditradisikan dan dicampur adukkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari. Sebagaimana terbukti bahwa meningkatnya libido hewan mencapai puncaknya di pertengahan bulan. Apalagi jika dikaitkan dengan kepercayaan mereka bahwa tanggal 14 Februari juga terjadi peristiwa besar yaitu kehancuran kerajaan Islam di Spanyol.

Keempat, secara nyata dan kasat mata, ternyata semangat valentine adalah semangat berzina, na’udzubillah min dzalik. Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa. Jadi, perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat. Kemudian di masa Nasrani dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama. Di masa sekarang ini Valentine’s Day identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah), kencan, hingga penghalalan praktek zina secara legal tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu. Semua dengan mengatas namakan semangat cinta kasih atau kasih sayang.
Yang sangat mengherankan adalah sampai saat ini saya belum menemukan fatwa ‘haram’ atas nama institusi kecuali himbauan secara lisan maupun tertulis dari para pimpinan MUI. Apakah ini salah satu bentuk toleransi umat Islam? Toleransi umat beragama? Sebagai contoh himbauan Ketua MUI Pusat Bidang Remaja dan Budaya KH A Cholil Ridwan dalam surat elektronik yang diterima Suara Islam Online, Selasa (11/2/2014). Beliau berkata, "Saya sebagai Ketua MUI Pusat menyerukan kepada kaum muslimin dan muslimat se-Indonesia agar mengabaikannya, karena VD adalah bagian dari perayaan agama lain dan bukan budaya Islam dan juga bukan budaya Indonesia,"  Demikian pula KH Abdullah Cholil, pemimpin NU Jatim berkata: "Kami melarang Muslim merayakan Hari Valentine”. Hari tersebut sering dirayakan oleh anak-anak muda yang belum menikah. Mereka merayakannya dengan berpegangan tangan atau melakukan free-sex, hal yang tidak seharusnya dilakukan”,



Dari sini dapat diambil simpulan bahwa moment Valentine’s Day ini bukan saja lebih bercorak kepercayaan yang berusaha untuk merusak akidah dan akhlak seorang muslim dan muslimah, sekaligus memperkenalkan gaya hidup Barat yang matrialistis, kapitalis dan bebas nilai dengan kedok percintaan, perjodohan dan kasih sayang. Padahal dalam Islam kasih sayang itu bisa diungkapkan kapan saja, tidak harus menunggu 14 Februari. Kasih sayang itu tidak hanya beberapa saat dari satu hari dan tidak juga satu hari saja dari banyak hari dalam satu tahun. Kasih sayang dan cinta sejati adalah yang diniatkan karena dan untuk Allah. Cinta yang tulus karena Allah kepada istri, suami, anak, orang tua, guru, teman dakwah, apalagi cinta kepada teladan umat Rasulullah SAW. Saya jadi teringat firman Allah dalam surat Al-Zukhruf ayat 67 (Semoga kita terhindar dari orang-orang yang bermusuhan karena cinta):
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ ﴿٦٧
Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’