Setiap mendekati tanggal 25 Desember dan akhir tahun Masehi selalu heboh dengan boleh tidaknya mengucapkan Selamat Hari Natal dan mengikuti acara memperingati Tahun Baru. Boleh tidaknya memakai pakaian Sinterklas bagi para pegawai di perusahaan milik orang Kristen. Jika di hari biasa saja seperti di kegiatan Car Free Day di Jakarta terjadi proses kristenisasi terselubung, maka bagaimana di hari perayaan Natal yang harus ada toleransi? Di mimbar masjid terjadi perang nasehat. Di dunia pertelevisian yang sarat dengan kepentingan bisnis terjadi penggiringan opini bahwa hal tersebut telah menjadi budaya internasional karena efek globalisasi. Di media masa dan media sosial apalagi telah terjadi perang fatwa dan pemikiran (Ghazw al-fikr) yang lebih dahsyat dari perang melawan teroris. Hal ini membuat masyarakat muslim yang awam menjadi bingung. Mau ikut pendapat siapa? Semua memiliki dalil naqli dan alasan logis yang bisa diterima oleh akal. Tapi di sisi lain menjadikan kaum muslim terpelajar ingin tahu lebih mendalam. Hal itu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran ajaran Islam. Minimal kebenaran yang ia yakini dan aplikasikan dalam kehidupannya agar terhindar dari godaan hawa nafsu dan syetan yang terkutuk, serta selamat di dunia dan akhirat. Beberapa pendapat ulama Islam tentang perayaan Natal sebagai beriku:
1. Pendapat pertama, mengatakan bahwa mengucapkan selamat
hari Natal, menjawab ucapan selamat Natal dari kolega dan rekan bisnis,
menghadiri perayaan Natal dan bekerja sama dalam perayaan Natal, berkunjung ke
saudara Kristen untuk memberi selamat dan saling memberi hadiah saat Natal
adalah haram beradasarkan ijma’ para ulama dengan dalil naqli. Ini adalah
pendapat Ibnu Qayyim, Syeikh Utsaimin, Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa
Kerajaan Arab Saudi) no. 8848, dan mayoritas ulama Wahabi dengan mendasarkan pada dalil naqli sebagai beriku: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2). Dan hadits Rasulullah SAW yang bersabda, ”Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayid/bagus). Serta hadits Nabi yang lain, “Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam
(ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Adapun dalil aqli mereka karena
perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama Kristen dan kaum pagan. Allah tidak meridhoi
adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan
selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini
diharamkan.
2. MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 mengeluarkan fatwa
bahwa mengucapkan Selamat Hari Natal adalah haram kecuali darurat. Dengan
perincian sebagai berikut:
1) Perayaan
Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as,
akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keagamaan yang
dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
2) Mengikuti
upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3) Agar ummat
Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala
dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
3. Pendapat ketiga dari para ulama kontemporer. Yusuf Qardhawi
mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal dibolehkan dengan syarat mereka
(orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta
damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara
dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah,
teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat
kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia mencintai berbuat adil. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8). “Apabila kamu diberi
penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An
Nisaa : 86). Wahbah Zuhaili membolehkan hanya sekedar basa basi
(mujamalah) saja tanpa ada pengakuan terhadap keyakinan mereka. Lembaga
Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika
mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam
keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan
berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak
dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan
ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan
simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam seperti salib. Kalimat-kalimat yang digunakan
dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas
agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat
pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat. Diantara para ulama yang
membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan
ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz
Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo, serta Syeikh Muhammad
Rasyid Ridho.
4. Quraish Shihab membolehkan mengucapkan Selamat Natal karena
dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera
(semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada
hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini
mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi
mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak
semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari
konteks, kondisi, situasi, dan pelaku. Dan beberapa pemikir Indonesia seperti
Prof. Ali Yafie, Gus Sholah, dan Prof Ibrahim Hosen sependapat dengan Quraish
Shihab. Bahkan Gus Dur lebih berani lagi dengan membolehkan menghadiri acara
peringatan Natal dengan tidak mengikuti misa kebaktian, apalagi sekedar
mengucapkan Selamat Natal. Hal ini karena Natal sama dengan Harlah dan Maulid
di Islam dalam surat Maryam dengan bahasa ‘salamun yauma wulida’.
Menurut penulis perayaan Natal penuh dengan ritual keagamaan Nasrani dan model persembahan
kaum Pagan. Menghadiri, ikut-ikutan meramaikan, serta ikut merayakan Natal
termasuk yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (haram), apalagi mengikuti
acara misa kebaktian. Adapun mengucapkan Selamat Natal dan menjawabnya adalah
haram juga kecuali DARURAT sebagaimana fatwa MUI tahun 1981. Batas DARURAT itu jika seseorang akan
dibunuh, disiksa, diancam keluarganya, dan dipaksa mengucapkan dan menjawab
selamat natal, maka ia dibolehkan mengucapkannya dengan tetap keimanan ada di
hatinya. Termasuk DARURAT jika dipaksa memakai baju Sinterklas dengan ancaman
PHK, maka boleh karena terpaksa dengan syarat sambil mencari pekerjaan di
tempat lain untuk menyelamatkan aqidah. Jika mengucapkan dengan niat basa basi
tanpa ada pembenaran keyakinan, maka lebih selamatnya (lebih baiknya) dengan
mengganti ucapan tersebut dengan "Semoga mendapat hidayah, Semoga sehat, Semoga selalu
berbuat baik, dll” sambil tetap menghormati keyakinan mereka dan berbuat baik
kepada mereka. Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan
ikut memberikan Selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan
tidak mengganggu mereka di dalam merayakannya (aspek sosial). Itulah arti
sebenarnya dari toleransi umat beragama. Seperti menjaga keamanan gereja bagi
polisi muslim, menjaga parkiran, menjaga hubungan kekerabatan, dan perbuatan
lain yang tidak berkaitan dengan ritual keagamaan atau penyerupaan budaya
mereka.
Penulis juga mengingatkan
kepada umat Islam untuk cerdas beragama dan sadar bahaya misi para misionaris. Samuel
Zwimmer, Ketua Asosiasi Misionaris dalam kongresnya di Jerusalem tahun 1935,
mengatakan , “ Sebenarnya tugas misionaris yang bertugas di Negara Islam adalah
bukan untuk memasukkan umat Muslim ke dalam agama Kristen, sebab mereka sudah
ada agama dan etika. ... Tugas tuan-tuan ialah untuk mengeluarkan manusia
Muslim dari Islam, agar menjadi orang yang tidak punya hubungan lagi dengan
Tuhan. Selanjutnya agar ia tidak terikat lagi dengan akhlak yang selama ini
dianut oleh umat itu. Dengan cara ini berarti tuan-tuan akan menjadi pioneer
dalam penjajahan di dunia Islam.” Jika misi misionaris tersebut sukses maka
akan muncul generasi Islam yang sesuai dengan kehendak penjajah. Yaitu mereka
tidak mengutamakan hal-hal terpenting dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting.
Mereka suka santai, menganggur dan mengejar kepuasan nafsu dengan apa saja. Bahkan
perkara sex dan keduniaan menjadi tujuan hidupnya. Sehingga walaupun dia
belajar tapi pelajarannya adalah untuk kepuasan sex dan urusan dunia. Kalau dia
mencari harta maka harta itupun untuk kepuasan sex dan berbangga-banggan. Atau
kalau dia menduduki jabatan-jabatan tinggi maka jabatan itupun untuk pemuasan
sex dan popularitas dunia. Pertanyaan selanjutnya, apakah hal ini sudah terjadi
di Indonesia sekarang ini? Kontribusi apa yang bisa anda berikan untuk umat
Islam dan bangsa Indonesia? Di manapun anda berada maka anda memiliki tanggung
jawab untuk menghidupkan ghirah keislamannya.