Beragama Islam itu Mudah, Maka Jangan Dipersulit
Beragama Islam itu Mudah, tapi Jangan Dimudah-Mudahkan
Beragama Islam itu Mudah, tapi Jangan Dipermainkan, Apalagi
Dilecehkan
Beragama Islam itu Mudah, Maka Lakukan Yang Terbaik, Bukan Yang Termudah
Sesungguhnya Islam itu agama yang mudah dan menganjurkan kemudahan. Kesimpulan
ini berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hanya saja banyak orang
salah paham dan meletakkan kemudahan ini bukan pada tempatnya. Mereka
mencari pendapat para ulama yang paling ringan dan pendapat pemikir liberal dengan
alasan penyesuaian zaman. Bagi mereka Islam harus menyesuaikan dengan zaman,
bukan zaman yang harus menyesuaikan dengan Islam. Fatalnya, mereka mendasarkan pendapat
pada prinsip kemudahan Islam dan toleransi, sekalipun pendapat tersebut sangat
lemah dan bertentangan dengan dalil-dalil yang lebih kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Mereka juga berpedoman pada ungkapan ‘ikhtilafu ummati rahmah li al-nas’
(perselisihan umatku adalah rahmat bagi manusia). Padahal hadits ini sangat
lemah, bahkan la asla lahu (tidak ada dasar). Di antara contoh-contoh ide,
gagasan, pikiran dan pendapat yang kontroversial, sebagai berikut:
- Membolehkan wanita nikah tanpa wali karena mengikuti Abu Hanifah, dan para sahabatnya Zafar, Sya’bi, dan al-Zuhri.
- Memakan binatang buas karena mengikuti madzhab Malikiyah yang memakruhkan binatang buas, atau tidak mengharamkan.
- Tidak memakai jilbab karena memakai jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. Mengikuti Al-Asymawi di buku Kritik Atas Jilbab dan para pemikir liberal lainnya.
- Musdah mengutak-atik ajaran Islam melalui draft Kompilasi Hukum Islam tahun 2004 yang isinya: pernikahan bukan ibadah, poligami haram, boleh menikah beda agama, boleh kawin kontrak…dsb.
Inilah keadaan mengkhawatirkan pada umat muslim di dunia. Oleh karena itu, perlu mendudukkan masalah ini agar umat muslim
memahaminya dengan baik dan tidak salah paham dengan prinsip kemudahan Islam.
Dalil bahwa
Islam itu mudah dan menganjurkan kemudahan, di antaranya:
a. Nash Al-Qur’an
… Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. … (QS. Al-Baqoroh: 185)
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’: 28)
… Dia telah menguji kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. … (QS. Al-Haj: 78)
b. Nash Hadits
Nabi SAW bersabda:
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya
agama ini mudah” (HR.
Bukhori: 39)
Tatkala Nabi mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa
al-Asy’ari ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya:
يَسِّرَا
وَلَا تُعَسِّرَا, وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا, وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا
“Hendaknya
kalian mempermudah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan
membuat lari, saling membantu dan jangan berselisih” (HR. Bukhori 3038 dan Muslim 1733)
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ : مَا خُيِّرَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا
أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا, فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ
أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
Aisyah
berkata: “Tidaklah Rasulullah diberi pilihan di antara dua perkara kecuali
beliau memilih yang paling ringan selagi hal tersebut bukan dosa. Adapun bila
hal tersebut merupakan dosa maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya”. (HR. Bukhori 3560 dan Muslim 2327)
Kemudahan itu bila Sesuai dengan Dalil
Perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan
berarti menyepelekan sebagian syari’at Islam, mencari-cari pendapat lemah
sebagian ulama, menyebarkan pendapat-pendapat controversial. Kemudahan Islam tetap dengan
mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai contoh saja:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ : أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ
أَعْمَى فَقَالَ : يَا رَسُولَ
اللَّهِ, إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ
فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ :
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ : فَأَجِبْ
Dari Abu Hurairah berkata: Pernah ada seorang lelaki
buta datang kepada kepada Nabi seraya mengatakan: Wahai Rasulullah, saya tidak
memiliki orang yang menuntunku ke masjid, lalu orang tersebut meminta agar Nabi
memberikan keringanan baginya untuk sholat di rumahnya. Nabipun akhirnya
memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut berpaling, Nabi
memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan sholat? Dia
menjawab: “Ya”. Nabi bersabda: Kalau begitu penuhilah panggilan tersebut”. (HR. Muslim 653)
Orang buta tersebut telah mengajukan
alasan-alasan yang begitu kuat, namun Nabi SAW tidak memberikan udzur baginya untuk
sholat di rumahnya. Beliau tetap menyarankan untuk pergi ke masjid
untuk sholat berjamaah. Bagaimana dengan umat Islam zaman sekarang yang tidak
buta dan masih kuat dengan alas an sibuk pekerjaan berani meninggalakan sholat
berjamaah?
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ,
وَأَنَّهَا مَرِضَتْ, فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا, فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا,
فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : لَعَنَ
اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Aisyah bahwa seorang gadis Anshor menikah lalu
dia sakit sehingga rambutnya rontok. Akhirnya mereka ingin untuk menyambung
rambutnya, maka merekapun bertanya kepada Rasulullah kemudian beliau bersabda:
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan meminta untuk disambung
rambutnya” (HR. Bukhori
5205, 5934 dan Muslim 2123)
Dalam hadits ini Nabi SAW tidak
memperbolehkan wanita tersebut untuk menyambung rambutnya padahal dia pengantin
baru yang perlu berhias untuk suaminya. Bagaimana
dengan para pengantin muslimah di Jawa dan beberapa daerah di Indonesia yang terbiasa
memakai gelung (rambut tambahan) dengan alasan tradisi dan berhias diri?
Para ulama salaf telah memberikan peringatan keras
terhadap seseorang yang
mencari-cari kemudahan, memudah-mudahkan syari’at, dan mempermainkan
syariat agama dengan pendapat-pendapat
kontroversial.
- Hasan al-Bashri berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah”. (Adab Syari’yyah Ibnu Muflih 2/77).
- Imam Ahmad menegaskan bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq. (Al-Inshof al-Mardawi 29/350.)
- Bahkan Imam Ibnu Hazm menceritakan ijma (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab tanpa bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal. (Marotibul Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot 4/134.)
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim harus
berhati-hati, waspada penuh rasa khawatir (khasyah), dan takut kepada Allah dan
adzab-Nya. Sehingga ia tidak menggampangkan diri untuk mencari-cari pendapat
paling mudah dan menyebarkan pendapat-pendapat kontroversial, karena hal itu
bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang menjadikan ayat-ayat Allah
sebagai pemainan dan senda gurau.
Dalam kitab al-Muwafaqot 4/222,
yang ditahqiq oleh Masyhur bin Hasan bahwa Imam Syathibi[1]
menyebutkan beberapa dampak negatif mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:
- Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi mengikuti perselisihan.
- Meremehkan agama
- Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari ijma’ ulama.
- Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang bukan maklum.
- Merusak undang-undang politik syar’i yang dibangun di atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan.
Para ulama telah meletakkan beberapa syarat dan batasan untuk
melaksanakan prinsip kemudahan Islam,[2]
di antaranya:
- Benar-benar harus ada udzur (halangan) yang membolehkan mengambil keringanan.
- Adanya dalil syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang membolehkan untuk mengambil keringanan, sebab keringanan yang hakiki adalah dengan mengikuti dalil bukan dengan pertentangan dan perselisihan dengan dalil.
- Mencukupkan pada kebutuhan saja dan tidak melampui batas dari garis yang telah ditetapkan oleh dalil.
[2]
Lihat Qowaidul
Ahkam al-Izzu bin Abdus Salam 2/7, Al-Asybah wa Nadhoir as-Suyuthi
hlm. 80-81, al-Muwafaqot asy-Syathibi 1/302-303,
Dhowabit
al-Maslahah al-Buthi hlm. 278, Rof’ul Haroj Ibnu Humaid hlm.
143-146, Manhaj
Taisir al-Mu’ashir ath-Thowil hlm. 55-56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar