Konsisten
menegakkan kebenaran itu suatu yang mudah untuk dibicarakan, didiskusikan dan
diceramahkan. Tapi tidak mudah saat dijalankan dalam kehidupan nyata. Konsisten
menegakkan kebenaran itu membutuhkan keyakinan tanpa ada keraguan,
Sebagaimana
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 147:
Kebenaran itu (wahai Muhammad), adalah datangnya dari
Tuhanmu; oleh itu jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan orang-orang
yang ragu-ragu. (QS.
Al-Baqarah: 147)
Konsisten
menegakkan kebenaran membutuhkan keinginan kuat tanpa putus asa, komitmen
tinggi, serta perjuangan yang tidak kenal lelah dan pantang menyerah. Sebagaimana
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ
قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ
الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ
وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦﴾
Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
(QS. Al-Baqarah: 256)
Permasalahannya
adalah kebenaran apa yang harus konsisten kita tegakkan? Lalu bagaimana cara
konsisten menegakkan kebenaran? Jika jawabannya adalah kebenaran ajaran Islam,
maka harus ditanyakan lagi ajaran Islam yang mana? Jika ajaran Islam yang
menjadi syariat Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih, apalagi
mutawatir, maka hukumnya wajib bagi kita untuk menegakkan kebenaran syariat dengan
sepenuh hati dengan cara terbaik.
Tapi
jika ajaran Islam yang difatwakan oleh para kyai, penceramah, ustadz, ormas dan
para pemikir lainnya yang mengatasnamakan agama, maka harus kita lakukan
tabayyun. Fatwa itu harus diteliti lebih dulu, dikaji ulang, disaring, dipilah
dan dipilih dengan barometer Al-Qur’an dan hadits pastinya. Jika sesuai dan
tidak bertentangan maka kewajiban kita harus menegakkan kebanaran itu. Seperti
seruan Resolusi Jihad NU melawan penjajah Belanda dan Inggris pada tanggal 22
Oktober tahun 1945, maka kita tegakkan kebenaran dengan wajib melawan penjajah.
Hingga 10 November dijadikan hari pahlawan karena banyak yang gugur memenuhi
panggilan jihad tersebut. Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang
pemberantasan segala bentuk penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat) juga
kita tegakkan guna menjaga keimanan dari kemusyrikan dan kekufuran. Dan masih
banyak lagi fatwa MUI tentang masalah-masalah kontemporer.
Rasulullah
adalah teladan dalam konsistensi menegakkan kebenaran Islam di tengah mayoritas
kaum musyrik Quraisy di Mekkah. Beliau menegakkan kebenaran dengan cara-cara
terbaik, dengan kesabaran, kejujuran, dan akhlak mulia.
Banyak
cara dan upaya yang ditempuh oleh orang Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi
Muhammad SAW. Namun upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, baik secara
diplomatik dan bujuk rayuan maupun tindakan kekerasan secara fisik selalu
gagal. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi
dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami meminta anda
memilih satu diantara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau
anda menyerahkannya kepada kami untuk dibunuh. Dengan demikian, anda akan
terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan.“ Tampaknya, Abu Thalib
cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad
menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “ Demi Allah
saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh
anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya. “ Dalam riwayat
lain beliau berkata,”Demi Allah, walapun mereka melatakkan matahari di
tangan kananku, dan bulan di tangan kiriki agar suapaya aku meninggalkan dakwah
ini, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini sampai Allah memenangkannya
atau aku binasa karenanya.”Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya
itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Untuk kali
berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah bin
Rabiah, seorang ahli bahasa, ahli retorika dan ahli diplomasi, untuk membujuk
Nabi SAW. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad SAW bersedia
menghentikan dakwahnya. Utbah berkata, ‘Keponakanku, jika dengan apa yang engkau bawa
ini, engkau menginginkan harta, kami akan mengumpulkan seluruh harta kami agar
engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau rnenginginkan
kehormatan, kami mengangkatmu sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan
persoalan tanpa denganmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, engkau kami
angkat sebagai raja. Jika yang datang kepadamu adalah sebangsa jin yang tidak
mampu engkau usir, kita mencarikan dokter untukmu dan mengeluarkan harta kami
hingga engkau sembuh darinya, karena boleh jadi jin mengalahkan orang yang
dimasukinya hingga ia sembuh darinya.’
Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah SAW
berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Abu Al-Walid?’Utbah
menjawab, ‘Ya, sudah.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Kalau begitu,
dengar apa yang akan aku katakan.’ Kemudian Rasulullah SAW membacakan surat
Fusshilat hingga selesai . Ketika Rasulullah SAW sampai pada ayat Sajdah,
beliau sujud, kemudian beliau bersabda, ‘Hai Utbah, engkau telah
mendengarkan apa yang baru saja engkau dengar. Sekarang, terserah kepadamu
tentang apa yang baru engkau dengar tadi’Puncak dari semua itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap bani Hasyim, yang merupakan tempat Nabi berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat Islam di kota Mekah pada waktu itu
Meski
tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali,
namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling konsisten dan giat
menegakkan kebenaran, menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal
membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung
memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. Dialah Abu Dzar al-Ghifary, seorang yang
berasal dari kaum Ghifar, kaum yang identik dengan kejahatan dan perampokan.
Di masa Khalifah Utsman, pendapat keras Abu Dzar tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau
Istana Al Khizra, Abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan
uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda
membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,”
katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini. Di masa Khalifah Utsman, pendapat keras Abu Dzar tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Dukungan Abu Dzar kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian orang-orang kaya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikap inilah yang dipuji oleh Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggil. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi SAW ternyata benar. Hingga akhir hayatnya, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh. Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaum Ghifar yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar