Kamis, 13 November 2014

Istiqomah Menegakkan Kebenaran



Konsisten menegakkan kebenaran itu suatu yang mudah untuk dibicarakan, didiskusikan dan diceramahkan. Tapi tidak mudah saat dijalankan dalam kehidupan nyata. Konsisten menegakkan kebenaran itu membutuhkan keyakinan tanpa ada keraguan,
Sebagaimana firman Allah surat Al-Baqarah ayat 147:
الْحَقُّ مِن رَّ‌بِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِ‌ينَ ﴿١٤٧
Kebenaran  itu (wahai Muhammad), adalah datangnya dari Tuhanmu; oleh itu jangan sekali-kali engkau termasuk dalam golongan orang-orang yang ragu-ragu. (QS. Al-Baqarah: 147)
Konsisten menegakkan kebenaran membutuhkan keinginan kuat tanpa putus asa, komitmen tinggi, serta perjuangan yang tidak kenal lelah dan pantang menyerah. Sebagaimana firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256:

لَا إِكْرَ‌اهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّ‌شْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ‌ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْ‌وَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّـهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٥٦
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)

Permasalahannya adalah kebenaran apa yang harus konsisten kita tegakkan? Lalu bagaimana cara konsisten menegakkan kebenaran? Jika jawabannya adalah kebenaran ajaran Islam, maka harus ditanyakan lagi ajaran Islam yang mana? Jika ajaran Islam yang menjadi syariat Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih, apalagi mutawatir, maka hukumnya wajib bagi kita untuk menegakkan kebenaran syariat dengan sepenuh hati dengan cara terbaik.

Tapi jika ajaran Islam yang difatwakan oleh para kyai, penceramah, ustadz, ormas dan para pemikir lainnya yang mengatasnamakan agama, maka harus kita lakukan tabayyun. Fatwa itu harus diteliti lebih dulu, dikaji ulang, disaring, dipilah dan dipilih dengan barometer Al-Qur’an dan hadits pastinya. Jika sesuai dan tidak bertentangan maka kewajiban kita harus menegakkan kebanaran itu. Seperti seruan Resolusi Jihad NU melawan penjajah Belanda dan Inggris pada tanggal 22 Oktober tahun 1945, maka kita tegakkan kebenaran dengan wajib melawan penjajah. Hingga 10 November dijadikan hari pahlawan karena banyak yang gugur memenuhi panggilan jihad tersebut. Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tentang pemberantasan segala bentuk penyakit TBC (Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat) juga kita tegakkan guna menjaga keimanan dari kemusyrikan dan kekufuran. Dan masih banyak lagi fatwa MUI tentang masalah-masalah kontemporer.

Rasulullah adalah teladan dalam konsistensi menegakkan kebenaran Islam di tengah mayoritas kaum musyrik Quraisy di Mekkah. Beliau menegakkan kebenaran dengan cara-cara terbaik, dengan kesabaran, kejujuran, dan akhlak mulia.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh oleh orang Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW. Namun upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, baik secara diplomatik dan bujuk rayuan maupun tindakan kekerasan secara fisik selalu gagal. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan Nabi dengan Abu Thalib dan mengancam dengan mengatakan: “Kami meminta anda memilih satu diantara dua: memerintahkan Muhammad berhenti dari dakwahnya atau anda menyerahkannya kepada kami untuk dibunuh. Dengan demikian, anda akan terhindar dari kesulitan yang tidak diinginkan.“ Tampaknya, Abu Thalib cukup terpengaruh dengan ancaman tersebut, sehingga ia mengharapkan Muhammad menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi menolak dengan mengatakan: “ Demi Allah saya tidak akan berhenti memperjuangkan amanat Allah ini, walaupun seluruh anggota keluarga dan sanak saudara akan mengucilkan saya. “ Dalam riwayat lain beliau berkata,”Demi Allah, walapun mereka melatakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriki agar suapaya aku meninggalkan dakwah ini, niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya.”Abu Thalib sangat terharu mendengar jawaban kemenakannya itu, kemudian berkata: “Teruskanlah, demi Allah aku akan terus membelamu”.
Untuk kali berikutnya, mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Mereka mengutus Utbah bin Rabiah, seorang ahli bahasa, ahli retorika dan ahli diplomasi, untuk membujuk Nabi SAW. Mereka menawarkan tahta, wanita, dan harta asal Nabi Muhammad SAW bersedia menghentikan dakwahnya. Utbah berkata, ‘Keponakanku, jika dengan apa yang engkau bawa ini, engkau menginginkan harta, kami akan mengumpulkan seluruh harta kami agar engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau rnenginginkan kehormatan, kami mengangkatmu sebagai pemimpin dan kami tidak memutuskan persoalan tanpa denganmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, engkau kami angkat sebagai raja. Jika yang datang kepadamu adalah sebangsa jin yang tidak mampu engkau usir, kita mencarikan dokter untukmu dan mengeluarkan harta kami hingga engkau sembuh darinya, karena boleh jadi jin mengalahkan orang yang dimasukinya hingga ia sembuh darinya.’
Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Abu Al-Walid?’Utbah menjawab, ‘Ya, sudah.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Kalau begitu, dengar apa yang akan aku katakan.’ Kemudian Rasulullah SAW membacakan surat Fusshilat hingga selesai . Ketika Rasulullah SAW sampai pada ayat Sajdah, beliau sujud, kemudian beliau bersabda, ‘Hai Utbah, engkau telah mendengarkan apa yang baru saja engkau dengar. Sekarang, terserah kepadamu tentang apa yang baru engkau dengar tadi
Puncak dari semua itu adalah dengan diberlakukannya pemboikotan terhadap bani Hasyim, yang merupakan tempat Nabi berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat Islam di kota Mekah pada waktu itu
Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling konsisten dan giat menegakkan kebenaran, menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.  Dialah Abu Dzar al-Ghifary, seorang yang berasal dari kaum Ghifar, kaum yang identik dengan kejahatan dan perampokan.

Di masa Khalifah Utsman, pendapat keras Abu Dzar tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, Abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.

Dukungan Abu Dzar kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian orang-orang kaya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikap inilah yang dipuji oleh Rasulullah SAW. Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggil. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi SAW ternyata benar. Hingga akhir hayatnya, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh. Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaum Ghifar yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar