Selasa, 28 Oktober 2014

MEMAKNAI HIJRAH 1436 H



Memaknai Hijrah 1436 H
Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan diri dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah dan makna hijrah, sebenarnya ada delapan macam hijrah. Pertama, hijrah para sahabat dari Mekkah menuju Habasyah ketika kaum musyrik menyakiti Rasulullah saw dan para sahabat hingga mereka pergi menuju Habsyah yang dipimpin Raja Najasyi. Peristiwa ini terjadi pada lima tahun setelah masa kenabian. Kedua, perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at Islam. Hijrah ini wajib bagi setiap muslim pada tiga belas tahun setelah masa kenabian. Yang menarik sebenarnya hijrah ini tidak khusus menuju kota Madinah, tetapi kewajiban hijrah mentaati perintah Allah dan Rasulallah SAW. Sebagaimana hadits:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه “-  متفق عليه

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab ra, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. [Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]
Ketiga, hijrahnya kabilah-kabilah Arab ke Rasulullah saw untuk belajar syariat agama, lalu kembali kepada kaumnya guna mengajari mereka syariat agama. Keempat, hijrahnya orang yang masuk Islam dari penduduk Mekkah guna mendatangi Nabi dan kembali lagi ke kaumnya. Kelima, Hijrah dari negeri mayoritas kafir menuju negeri mayoritas muslim. Imam Mawardi berkata, “Jika ada keluarga dalam negeri mayoritas kafir dan memungkinkan baginya menjalankan syariat agama maka tidak diperkenankan pindah karena negeri itu telah menjadi negeri Islam. Keenam, Hijrahnya seorang muslim atas saudaranya sesama muslim tanpa sebab syar’i jika tiga hari hukumnya makruh, tapi jika lebih dari tiga hari hukumnya haram kecuali darurat. Ketujuh, Seorang suami meninggalkan istri tatkala terbukti penyelewengan dari istri seperti firman Allah, “... dan tinggalkanlah mereka di tempat tidur ...). Termasuk kategori ini adalah meninggalkan ahli maksiat di tempat, tidak berbicara dengannya, tidak memulai salam maupun menjawab salam darinya. Kedelapan, hijrah meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah. Makna terakhir inilah makna yang lebih umum.
Ibn al-Arobi menambahkan bahwa para ulama telah membagi hijrah bepergian di muka bumi menjadi dua, yaitu bepergian karena melarikan diri dan bepergian karena mencari sesuatu. Bepergian karena melarikan diri terbagi menjadi enam. Pertama, keluar melarikan diri dari wilayah peperangan menuju negeri Islam yang penuh perdamaian. Kedua, keluar dari wilayah yang penuh bid’ah. Ibn al-qasim telah mendengar Imam Malik berkata, “tidak halal bagi seseorang bermukim di wilayah yang moyoritas menghina para sahabat dan ulama salaf.” Ketiga, keluar dari wilayah yang mayoritas terdapat hal yang diharamkan, maka mencari hal yang halal menjadi kewajiban bagi tiap orang muslim. Keempat, melarikan diri dari penyiksaan fisik di badan. Ini adalah karunia Allah yang memperbolehkan hambanya jika khawatir atas penyiksaan dirinya untuk menyelamatkan diri dari tempat tersebut. Seperti Nabi Ibrahim As melarikan diri ketika takut dari kaumnya, “Sesunguhnya saya melarikan diri ke Rabb-ku.” Atau Nabi Musa As yang keluar ke Madyan karena takut dari bala tentara Firaun. Kelima, keluar karena takut tertular penyakit yang sedang mewabah di suatu daerah menuju daerah yang steril atau aman dari penyakit. Keenam, keluar karena takut akan kerusakan atau kehilangan harta benda sebab kehormatan harta benda seperti kehormatan darahnya.
Sementara bepergian karena mencari sesuatu terbagi menjadi dua, yaitu bepergian mencari keduniaan dan bepergian mencari urusan agama. Bepergian mencari urusan agama terbagi menjadi sembilan. Pertama, bepergian untuk mengambil pelajaran sebagaimana firman Allah, “Tidakkah mereka bepergian di muka bumi hingga melihat bagaimana akibat kaum yang terdahulu..” Dzul Qarnain pun telah berkeliling dunia untuk melihat hal-hal yang sangat menakjubkan. Kedua, bepergian untuk ibadah haji. Ketiga, bepergian untuk berjihad di medan perang. Keempat, bepergian mencari nafkah memenuhi kebutuhan pokok. Kelima, bepergian untuk berdagang dan bekerja memenuhi kebutuhan tambahan seperti firman Allah, “Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia dari tuhan kalian”. Keenam, bepergian mencari ilmu. Ketujuh, bepergian untuk mengunjungi tempat-tempat mulia seperti sabda Rasulullah saw, “tidak diperbolehkan seseorang untuk bersusah payah menyiapkan perbekalan khusus kecuali pada tiga masjid, yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjid al-aqsa.” Kedelapan, berpergian dengan berlayar menuju dermaga pelabuhan guna mengikatkan bahtera. Kesembilan, bepergian untuk mengunjungi keluarga, sahabat karena Allah. Rasulullah Saw bersabda, “ seseorang telah berkunjung mendatangi saudaranya di suatu kampung maka Allah mengutus malaikat guna menemuinya di tengah perjalanan. Malaikat berkata kepadanya,” ke mana kamu ingin pergi?” ia berkata,”aku ingi mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat berkata,”Apakah ada hajat atau nikmat yang ingin kamu sampaikan kepadanya?” ia berkata,”tidak ada, kecuali aku mencintainya karena Allah. Malaikat berkata,”sesungguhny saya adalah utusan Allah kepadamu untuk memberitahumu bahwa Allah telah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (HR. Muslim)
Tiap Tahun Baru Hijriyah, biasanya umat Islam merayakannya dengan aneka perayaan. Orang-orang desa biasanya mengadakan pawai keliling desa, karnaval baju adat, jalan sehat berhadiah, dll. Para ustadz dan penceramah biasanya memaknai hijrah tidak hanya fisik saja, tapi hijrah dari kemaksiatan, kebodohan, kemalasan, kemiskinan, dan kefasikan. Yang lain termasuk para santri mahasiswa STKIP Al Hikmah mengadakan khatmul Qur’an, do’a akhir tahun dan awal tahun, dan ditutup dengan muhasabah. Ironinya, walaupun tiap tahun diceramahi seperti itu, tapi mayoritas umat Islam masih saja akrab dengan kebodohan, kemiskinan, kemalasan dan kemaksiatan.
Banyak penulis dan penceramah yang menyampaikan bahwa peringatan 1 Muharram sebagai Tahun Baru Hijriyah karena Rasulullah saw dan sahabat hijrah dari Mekkah ke Madinah pada saat itu. Padahal peristiwa hijrah nabi itu sendiri tidak terjadi di bulan Muharram. Meski ada banyak versi namun yang paling kuat menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, penulis Fiqhus-Sirah, Rasulullah saw dan Abu Bakar Ra meninggalkan Mekkah dan masuk bersembunyi ke Gua Tsaur pada tanggal 2 bulan Rabiul Awal, bertepatan dengan 20 September 622 Masehi. Mereka tiba di Madinah dan disambut dengan nyanyian Thola’a al-badru ‘alaina pada tanggal 12 Rabiul-Awwal, sebagaimana disebutkan oleh Al-Mas'udi. Jadi, sebenarnya umat Islam tidak merayakan peristiwa hijrah saat Tahun Baru Hijriyah. Yang dirayakan sebenarnya adalah hitungan tahun yang digagas dan diprakarsai oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab Ra.
Ketika Rasulullah saw masih hidup, tidak ada perayaan tahun baru. Bahkan di masa pemerintahan Abu Bakar Ra yang cuma dua tahun itu juga tidak ada. Sebab saat itu hitungan kalender Islam belum ditetapkan. Khalifah Umarlah yang menetapkan kalender Islam. Beliau menetapkan bahwa hitungan tahun Islam dimulai sejak tahun dimana Rasulullah saw dan para sahabat berhijrah.
Ada beberapa penyebab pembuatan kalender Hijriyah. Di antaranya yang paling masyhur adalah datangnya surat dari shahabat Nabi saw yang berada di Yaman. Abu Musa al-Asy'ari menulis kepada Umar bahwa surat-surat dari Umar datang kepada mereka tanpa tanggal. Dan Umar sendiri merasakan masalah dari ketiadaan tanggal pada surat-surat yang masuk. Suatu saat ada surat penting kepada Umar dan hanya tertulis pada surat tersebut Bulan Sya'ban. Umar bingung dan bertanya: Apakah ini Sya'ban yang akan datang atau Sya'ban yang sekarang? Maka Umar menggelar diskusi dengan para pembesar. Intinya akan membahas pembentukan kalender Islam. Dan pembahasan pertama tentang hitungan untuk tahun pertama, dimulai dari peristiwa apa. Awalnya ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan agar perhitungan tahunnya ikut masyarakat Romawi yang telah menghitung tahun mereka dimulai dari sejarah The Great Alexander. Usulan ini ditolak dengan alasan di antaranya adalah terlalu panjang. Ada juga yang usul ikut kalender Persia. Usulan ini juga ditolak dengan alasan bahwa setiap ganti pemimpin, maka dia mengganti hitungan tahun sesuai kehendaknya sendiri dan membuang hitungan tahun yang telah ada sebelumnya.
Rapat akhirnya memutuskan untuk memulai hitungan tahun dari sejarah Rasulullah sendiri.
Setelah sepakat, kemudian muncul lagi masalah, yaitu peristiwa apakah yang akan dijadikan momentum dari 23 tahun perjuangan Rasulullah? Ada yang mengusulkan agar dimulai dari diutusnya Nabi pertama kali. Ada juga yang usul dari lahirnya Nabi saw. Bahkan ada juga yang usul bahwa kalender dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw. Tapi semua sahabat tidak sepakat. Tetapi ketika ada usulan perhitungan dimulai sejak tahun dimana peristiwa hijrah terjadi, akhirnya semua sepakat. Para sahabat di bawah pimpinan Umar memutuskan untuk memulai tahun pertama dari tahun dimana Rasulullah saw dan sahabat berhijrah.

Umat Islam wajib melakukan hijrah fisik dan maknawi apabila diri, keluarga dan umat Islam lainya terancam dalam mempertahankan akidah dan syari’ah Islam. Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah 2:218). “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)

Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa dimaknai dengan benar. Seseorang dikatakan berhijrah sebenarnya jika telah memenuhi tiga kriteria, yaitu; pertama niat ikhlas karena Allah, kedua, ada sesuatu yang ditinggalkan, dan ketiga, ada tujuan. Ketiganya harus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negatif, maksiat, kondisi yang tidak kondisif semata-mata kaena dan untuk Allah, menuju keadaan yang lebih baik, positif dan kondisi yang kondusif untuk menegakkan ajaran Islam. Semoga Allah menjadikan diri kita termasuk golongan yang berhijrah menuju keridhoan Allah, amin.

Kamis, 23 Oktober 2014

Guru Profesional Itu Suka Menulis



Guru profesional itu suka menulis
Sudahkah kita menjadi guru profesional? Sudahkah kita menjadi guru profesional yang suka menulis? Menjawab pertanyaan pertama agak mudah, tapi untuk pertanyaan kedua harus dipikirkan dan dibuktikan dengan karya nyata.
Memang sangat menyenangkan lagi membanggakan menjadi guru. Karena dapat meneruskan perjuangan para ulama. Sementara ulama adalah para pewaris nabi. Disamping telah menjadi profesi yang terhormat di tengah masyarakat, menjadi guru juga merupakan bentuk ketaatan beribadah kepada Allah yang mendatangkan keberkahan. Hal ini karena guru melaksanakan pengabdian ilmu yang bermanfaat (mendapatkan pahala amal jariah) dan menjalankan amanah untuk mendidik siswa agar memiliki karakter lebih baik dan kemampuan akademis optimal. Guru harus menjadi pribadi teladan bagi siswa dan masyarakat.
Di setiap hari guru selalu menjalankan rutinitas kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Guru harus mempersiapkan RPP, bahan ajar, metode yang menyenangkan dan menantang, media pembelajaran yang tidak membosankan, dan alat evaluasi yang terukur. Bahkan beberapa guru juga telah menulis materi bahan ajar dalam sebuah buku, lembar kerja siswa, handout, dan modul untuk mempermudah proses pembelajaran agar lebih efektif, interaktif, dan menantang. Hanya saja, lagi-lagi permasalahan yang selalu ada dalam pikiran para guru adalah sudahkah menjadi guru profesional yang suka menulis?
Profesionalitas guru berarti guru harus kompeten atau menguasai bidang pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Yaitu menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan yang akan diajarkan kepada anak didik. Menguasai konsep dan metode pembelajaran, serta penggunaan teknologi dan media pembelajaran. Membuat instrumen evaluasi dan melakukan penilaian untuk memperoleh informasi hasil belajar dan ketercapaian kompetensi. Lalu guru harus mengembangkan materi pembelajaran secara kreatif dan berkelanjutan.
Guru yang memiliki profesionalitas tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan standar ideal. Profesionalitas yang tinggi pada guru akan ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan kemampuan diri dan memelihara citra profesinya melalui perwujudan prilaku yang profesional. Perwujudan tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran yang berkualitas di sekolah, berakhlak mulia pada anak didik, teman sejawat, dan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Menjadi guru profesional seperti di atas sangat mudah bagi guru-guru yang sudah mengikuti pelatihan guru profesional dan telah memiliki pengalaman mengajar yang lama. Akan tetapi menjadi guru profesional yang tidak hanya menulis RPP dan bahan ajar, tapi suka menulis karya tulis pasti tidaklah mudah. Apalagi menulis karya yang bisa diterima oleh media massa (koran dan majalah) dan menang di kejuaraan penelitian dan karya ilmiah. Pasti itu lebih sulit. Benarkah? Bagi guru yang tidak suka menulis pasti menjawab, “ Benar, menulis itu sangat sulit. Dari mana saya harus memulai?” Tetapi bagi guru yang terbiasa menulis akan mengatakan sebaliknya, “Ini tidak benar, menulis itu gampang bin mudah, kok. Apalagi menulis di blog pribadi. Bebas. Just do it.”
Menjadi guru profesional yang suka menulis memang gampang-gampang susah. Dikatakan gampang karena disamping mengajar, guru terbiasa membaca buku referensi dan menulis di papan tulis. Dikatakan susah karena guru belum terbiasa menulis untuk media massa dengan alasan kesulitan mengatur waktu. Menurut saya, alasan terakhir ini sangat dibuat-buat. Kesulitan terjadi karena prilaku tidak pernah mau memulai untuk menulis. Jika guru mau memulai menulis artikel, opini, cerpen atau apapun, meskipun tidak bagus, maka hal ini tidak masalah. Tampung aja di blog pribadi jika tidak diterima di media cetak!  Yakin saja, jika sudah memulai untuk menulis, maka suatu saat nanti kebiasaan menulis akan terbentuk. Bukankah ada kata hikmah berbahasa Inggris  ‘At the first we make habit, at the last habit make us’. Hal ini juga pernah dikampanyekan oleh Arswendo Atmowiloto bahwa menulis itu gampang. Menulis jika dilakukan secara benar, tak ada bedanya dengan kegiatan bercakap-cakap, demikian yang diungkapkan oleh Laurence Sterne, seorang novelis.
Seorang profesional memang harus menguasai bidangnya seperti seorang dokter gigi yang harus menguasai segala macam permasalahan gigi dan solusinya. Membaca dan menulis termasuk bidang yang harus dikuasai oleh guru profesional. Jadi, guru profesional sesungguhnya harus suka membaca dan menulis. Sehingga sifat gemar membaca dan menulis ini menjadi karakter keteladanan dirinya yang diharapkan akan diteladani oleh semua siswa. Mari kita memulai menulis dari sekarang. Mari kita memulai menulis apa saja yang ada dalam pikiran dan hati kita. Tulisan tentang pendidikan, masalah anak, character building, fenomena alam, atau keadaan lingkungan di sekitar kita. Tidak perlu ada perasaan takut dinilai orang lain bahwa tulisan kita jelek, kering, membosankan, tidak beralur, atau tidak berkualitas. Tulisan yang bagus menurut saya adalah tulisan yang jujur, hasil dari perenungan yang tak henti dengan gaya sendiri, dikembangkan dari kepekaan personal –sesuatu yang tidak diambil dari orang lain, karena murni datang dari dalam diri sendiri. Selamat memulai untuk menulis!

Rabu, 22 Oktober 2014

Konsep Belajar Manhaj Qur'ani



Konsep Belajar Manhaj Qur’ani
Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai kata yang mengandung makna belajar. Membaca (قَرَأَ), memahami (فَقِهَ, فَهِـــمَ), melihat dan memperhatikan (رَأَى), menalar (نَظَرَ), mendengarkan (سَــمِعَ), mengingat / menghafal (ذَكَــرَ), merasakan (شَعُــرَ), mempelajari (دَرَسَ), berakal (عَقِلَ), mencari (طَلَبَ), mengetahui (عَلِمَ), berpikir (تَفَكَّرَ), merenungkan (تَدَبَّرَ), mengambil pelajaran (اِعْتَبَرَ),   اُولُوا اْلاَلْبَابِ, اُولُوا اْلاَبْصَارِ, dll. Bahkan kata (عَلِمَ) dan perubahan bentuknya disebutkan lebih dari 788 kali dalam Al-Qur’an. Sementara kata (دَرَسَ) disebutkan 6 kali. Dari sini bisa dipahami bahwa Allah sangat memperhatikan dan mementingkan belajar. Allah memerintahkan umat manusia untuk belajar menggunakan segala daya yang diberikan oleh Allah. Daya itu ditimbulkan oleh panca indera, akal, dan hati. Di antaranya, daya melihat, mendengar, merasakan, mengingat, imajinasi, mengetahui, menalar, menelaah, berkarya, dan daya cipta. Inilah makna mensyukuri nikmat Allah dalam surat Al-Nahl ayat 78.
وَاللَّـهُ أَخْرَ‌جَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ‌ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُ‌ونَ ﴿٧٨
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahal: 78)
Dalam bahasa Arab kata bermakna belajar sering menggunakan ( تَعَلَّمَ)  dan (دَرَسَ). Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan lam fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid sehingga menjadi ta’allama. Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam ilmu shorf dikenal dengan istilah fawa’id al-baab, dapat merubah makna kata tersebut. Penambahan ta’ dan tasydid dalam kata ‘alima hingga menjadi ta’allama berfungsi mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan mencari ilmu melalui pembelajaran hingga berpengaruh pada perubahan prilaku. Sementara darosa berarti belajar secara mandiri dan berbekas. Raghib Al-Isfahani secara harfiah memaknai kata darosa itu dengan meninggalkan bekas. Seperti yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya atsruha (rumah itu masih ada bekasnya). Jadi, ungkapan darastu al-‘ilma sama artinya dengan tanawaltu atsrahu bi al-hifdzi (saya menerima bekasnya dengan menghafal). Dengan demikian konsep belajar dapat didefinisikan sebagai proses pencarian ilmu secara mandiri atau akibat dari aktivitas pembelajaran untuk mencapai perubahan prilaku.
Sebagai contoh konsep belajar dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 102. Kata yu‘allimu dan yata’allamun terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang ilmu sihir:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ‌ سُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُ‌وا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ‌ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُ‌وتَ وَمَارُ‌وتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ‌ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّ‌قُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْ‌ءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّ‌ينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّ‌هُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَ‌اهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَ‌ةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَ‌وْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿١٠٢
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah (2): 102).
Berdasarkan pengertian belajar di atas, maka ayat ini dapat diartikan bahwa orang-orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil pembelajaran dari keduanya. Tapi ilmu yang mereka dapatkan itu tidak bermanfaat, bahkan memberi madharat bagi mereka. Mereka melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan bimbingan guru sihir. Mereka mengikuti arahan guru sihir untuk memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malah membahayakan diri mereka. Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la yanfa’uhum” menggambarkan bahwa seharusnya objek yang dipelajari adalah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak berguna dan dapat membahayakan manusia tidak boleh untuk dipelajari. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu ini tidak dapat mendatangkan manfaat. Jadi, ilmu yang pantas dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia dan alam semesta, baik di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Contoh lain memahami konsep belajar dari kata darosa dalam surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِ‌ثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَ‌ضَ هَـٰذَا الْأَدْنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ‌ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَ‌ضٌ مِّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لَّا يَقُولُوا عَلَى اللَّـهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَ‌سُوا مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ‌ الْآخِرَ‌ةُ خَيْرٌ‌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿١٦٩
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Q.S. Al-A’raf (7): 169).
Ayat ini menjelaskan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewarisi kitab dari nabi. Mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya. Bahkan mereka menfatwakan dan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi kandungan kitab yang mereka pelajari itu hanya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat dengan cara mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan lebih menguntungkan bagi mereka. Namun tidak semua Ahlul Kitab seperti itu. Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah mereka warisi tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168) surat yang sama.
Dalam ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan “mereka telah mempelajari isi al-Kitab”. Maksudnya, orang-orang Ahlul Kitab telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka. Seharusnya kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga mereka mengakui kerasulan Muhammad SAW. Tetapi ternyata sebaliknya; hal-hal yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh apa-apa dan tidak berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang tidak efektif. Hal itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima kebenaran atau ada kepentingan lain yang membuat mereka menolak. Dalam ayat tersebut digambarkan hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka, yaitu “ya’khudzuuna al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini). Artinya mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari segalanya sehingga pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak mendatangkan efek positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani mengubah kitab suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan.
Berdasarkan pembahasan ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa terdapat hal-hal yang dapat menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan tersebut meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik, seperti motivasi dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian pula tujuan belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan lain, termasuk pergeseran paradigma terhadap belajar dari mencari ilmu berubah menjadi mencari ijazah atau gelar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri peserta didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan atau rangsangan yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman, masyarakat, media masa, dan keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan menghambat kegiatan belajar atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga materi pelajaran tidak dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai pengetahuanya, tetapi hal-hal tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka itulah sebabnya, banyak orang yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Agar proses belajar lebih efektif, maka faktor-faktor tersebut wajib dihindari. Peserta didik harus fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka harus membuka diri terhadap kebenaran atau objek yang dipelajari. Karena jika tidak demikian, maka jiwanya akan ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya sehingga pada akhirnya membuat proses belajar tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Niat mereka perlu diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari ilmu untuk menguatkan akal agar mendapat hidayah dari Allah, sehingga ilmu yang diperoleh berpengaruh positif terhadap perilaku. Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan sekitar siswa lainnya mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang dapat menggagalkan pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah dengan orang-orang baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada sahabat.
 Konsep belajar juga harus berdampak pada prilaku yang lebih baik sebagaimana firman Allah dalam surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ‌ أَن يُؤْتِيَهُ اللَّـهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللَّـهِ وَلَـٰكِن كُونُوا رَ‌بَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُ‌سُونَ ﴿٧٩ وَلَا يَأْمُرَ‌كُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْ‌بَابًا ۗ أَيَأْمُرُ‌كُم بِالْكُفْرِ‌ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿٨٠
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
Dalam ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum tu’allimuuna al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan ajakan para nabi terdahulu terhadap ummatnya agar mereka menjadi kaum rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah. Kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa peserta didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa. Dengan demikian, ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan konsep belajar; pertama proses belajar seperti tersirat dalam katatadrusuuna’. Kedua tujuan belajar dan mengajar, yaitu terbentuknya insan rabbani di kata ‘rabbaniyyin. Para nabi telah belajar dan mengajar umatnya dengan sungguh-sungguh dan umat pun telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan oleh para nabi tersebut. Sebagai hamba Allah yang taat mari kita belajar sungguh-sungguh agar menjadi insan rabbani yang mampu mensyukuri nikmat panca indera, akal dan hati. (Wallahu A’lam)