Kamis, 02 Oktober 2014

Puasa Arafah keluargaku

Anakku yang pertama berkata,"Bi, besok aku puasa. boleh ya?" Saya jawab,"Kalau kamu sehat dan siap berpuasa, boleh. Tapi nanti malam kamu niat puasa apa?" Dia menjawab,"Puasa Arafah" Saya bertanya lagi,"Mengapa kamu puasa Arafah?" Dia menjawab,"Tadi pagi guru saya bercerita bahwa besok hari Jum'at jamaah haji wuquf di Arafah. Umat Islam yang tidak haji disunnahkan untuk puasa agar mendapat pahala dan ampunan dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun sesudahnya."
Itulah dialog singkat antara saya dengan anak saya ketika mengantar pulang ke rumah. Begitu bahagianya mempunyai anak cerdas dan punya keinginan kuat untuk beribadah puasa sunnah. Saya berdo'a semoga anakku menjadi wanita yang sholihah, bertaqwa dan selalu mendekatkan diri kepada Allah semata mencari ridho-Nya. Ketika menjalankan puasa sunnah dia tidak larut dalam perdebatan puasa Arafah pada hari Jum'at atau hari Sabtu. Tapi dia yakin sekali bahwa ketika jamaah haji wuquf di Arafah hari Jum'at, maka puasanya juga hari Jum'at. Itulah logika dan keyakinan sederhana dari seorang anak berumur 10 tahun yang baru duduk di kelas 4 SD. Sebagai seorang ayah saya selalu mendukung dan memfasilitasi agar anak saya tumbuh dan berkembang di bawah naungan ajaran Islam. Meskipun sudah terbiasa puasa Arafah saya tidak mewajibkan anak harus mengikuti ayahnya atau memaksanya harus mengikuti ayahnya. Saya selalu mengajaknya beribadah semampunya dengan berdialog. Supaya dia mengetahui mengapa manusia harus beribadah? Apa dasar dari ibadah yang dilakukan? dan bagaimana cara melakukannya?
Mengapa berpuasa Arafah tahun ini pada hari Jum'at? Kok tidak ikut keputusan pemerintah? Jawabannya bukan tidak ikut keputusan pemerintah, tapi mengamalkan perintah Nabi SAW yang sangat jelas dalam beberapa hadits. Dari Abu Qatadah al-Anshary, ia berkata,"Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang keutamaan puasa hari Arafah?" Maka beliau menjawab,"Menghapuskan kesalahan tahun lalu dan tahun sesudahnya." (HR. Muslim No.1162 dalam hadits yang panjang)
Dan hadits lain yang artinya : … Dan puasa pada hari Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297, 308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Dari hadits di atas bisa dipahami sebagai berikut:
Pertama, Dikatakan puasa hari Arafah karena ada jamaah haji yang wuquf di Arafah dan jarang dinamakan puasa 9 dzulhijjah. Karena tahun ini adalah haji akbar, yaitu jamaah haji di Arab Saudi wuquf di Arafah bertepatan hari Jum'at, maka sunnah berpuasa hari Jum'at dan tidak hari Sabtu. Dan tidak berpuasa hari Sabtu karena ada larangan berpuasa ketika mayoritas umat Islam di dunia merayakan hari raya. Dan jika hari Sabtu, maka bukan dinamakan puasa hari Arafah, tapi puasa hari Mina. Karena semua jamaah haji hari Sabtu sedang menginap di Mina untuk melaksanakan lempar jumrah dan kewajiban lainnya.
Kedua, Keyakinan bahwa qiyas penentuan puasa Arafah dan hari raya Idul Adha disamakan dengan penentuan puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri kurang (baca: tidak) tepat. Kaedah Ushul fiqh 'Qiyas dengan sesuatu yang berbeda adalah bathil. Puasa Arafah berlandaskan pada tempat jamaah haji melaksanakan rukun wuquf saat haji dan waktu sekaligus. Sementara puasa Ramadhan berdasarkan pada waktu penentuan masuknya bulan baru Ramadhan dengan metode ru'yatul hilal atau hisab.
Ketiga, Jika penentuan awal bulan baru dengan melihat matholi' hilal maka perlu pertanyaan dan penjelasan yang lebih detail. Pemerintah dengan metode imkan ru'yah (kemungkinan melihat hilal dengan mata telanjang) dengan menetapkan ketinggian hilal harus di atas 2 derajat pada saat tenggelamnya matahari di hari trakhir bulan yang lalu. jika tidak sampai 2 derajat maka bulan baru harus ditetapkan hari lusanya. Sementara ormas yang menggunakan metode wujud hilal (eksistensi hilal) menetapkan bahwa jika hilal terlihat melalui hisab seberapapun ketinggian hilal itu pada saat tenggelamnya matahari di hari terakhir bulan lalu, meskipun di bawah 2 derajat, maka hari esok ditetapkan sebagai awal bulan baru. Pertanyaanya kemudian adalah mengapa harus waktu maghrib saat melihat hilal? Bagaimana jika ada seorang yang melihat hilal pada waktu sebelum subuh saat mencari ikan di tengah laut? Ketinggian hilal pada hari Rabu tanggal 24 September 2014 lalu hanya 6 derajat sehingga tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, tapi secara logika sudah masuk awal bulan baru. Hilal sangat mungkin terlihat jika mata melihatnya dengan alat teleskop yang lebih canggih dari alat tradisional atau mungkin terlihat agak jelas saat mendekati subuh di tengah laut. Karena itu lebih baik mengikuti Arab Saudi saja yang jelas menetapkan puasa Arafah hari Jum'at. Toh sebenarnya jarak waktu antara Arab Saudi dan Indonesia hanya sekitar 4-6 jam saja. Sementara waktu antara maghrib sampai subuh ada sekitar 10,5 jam.
Keempat, Mentaati Ulil Amri (baca: pemerintah) jika keputusan pemerintah tidak bertentangan dengan makna dhahir (jelas) nash dari Al-Qur'an dan hadits. Jika keputusannya bertentangan dengan makna dhahir hadits (dalam hal ini hadits puasa Arafah, bukan puasa Mina, Mekkah, Madinah, atau Indonesia), maka -mohon maaf, semoga Allah mempersatukan umat Islam dan mengampuni jika salah- tidak mengikuti keputusan pemerintah adalah lebih baik. Sekarang ini pemerintah berijtihad menggunakan qiyas, jika benar akan mendapat dua pahala, jika salah hanya mendapat satu. 
Puasa Arafah memang pilihan, karena hidup juga pilihan. Sikap terbaik dalam memilih adalah berpuasa Arafah hari Jum'at dengan tidak menyalahkan orang yang berpuasa hari Sabtu. Berpuasa Arafah hari Jum'at dengan tidak memanas-manasi para pendukung puasa hari Sabtu. Yang harus disalahkan adalah orang yang tidak berpuasa, apalagi sudah tidak puasa malah membuat pernyataan yang 'sok ilmiah' supaya umat Islam saling bermusuhan satu sama lain. Yang menarik terdapat beberapa pengurus masjid yang mensarankan jama'ahnya puasa Arafah hari Jum'at, tapi sholat Idul Adha hari ahad. Wallahu A'lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar