Rabu, 22 Oktober 2014

Konsep Belajar Manhaj Qur'ani



Konsep Belajar Manhaj Qur’ani
Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai kata yang mengandung makna belajar. Membaca (قَرَأَ), memahami (فَقِهَ, فَهِـــمَ), melihat dan memperhatikan (رَأَى), menalar (نَظَرَ), mendengarkan (سَــمِعَ), mengingat / menghafal (ذَكَــرَ), merasakan (شَعُــرَ), mempelajari (دَرَسَ), berakal (عَقِلَ), mencari (طَلَبَ), mengetahui (عَلِمَ), berpikir (تَفَكَّرَ), merenungkan (تَدَبَّرَ), mengambil pelajaran (اِعْتَبَرَ),   اُولُوا اْلاَلْبَابِ, اُولُوا اْلاَبْصَارِ, dll. Bahkan kata (عَلِمَ) dan perubahan bentuknya disebutkan lebih dari 788 kali dalam Al-Qur’an. Sementara kata (دَرَسَ) disebutkan 6 kali. Dari sini bisa dipahami bahwa Allah sangat memperhatikan dan mementingkan belajar. Allah memerintahkan umat manusia untuk belajar menggunakan segala daya yang diberikan oleh Allah. Daya itu ditimbulkan oleh panca indera, akal, dan hati. Di antaranya, daya melihat, mendengar, merasakan, mengingat, imajinasi, mengetahui, menalar, menelaah, berkarya, dan daya cipta. Inilah makna mensyukuri nikmat Allah dalam surat Al-Nahl ayat 78.
وَاللَّـهُ أَخْرَ‌جَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ‌ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُ‌ونَ ﴿٧٨
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahal: 78)
Dalam bahasa Arab kata bermakna belajar sering menggunakan ( تَعَلَّمَ)  dan (دَرَسَ). Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan lam fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid sehingga menjadi ta’allama. Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam ilmu shorf dikenal dengan istilah fawa’id al-baab, dapat merubah makna kata tersebut. Penambahan ta’ dan tasydid dalam kata ‘alima hingga menjadi ta’allama berfungsi mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan mencari ilmu melalui pembelajaran hingga berpengaruh pada perubahan prilaku. Sementara darosa berarti belajar secara mandiri dan berbekas. Raghib Al-Isfahani secara harfiah memaknai kata darosa itu dengan meninggalkan bekas. Seperti yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya atsruha (rumah itu masih ada bekasnya). Jadi, ungkapan darastu al-‘ilma sama artinya dengan tanawaltu atsrahu bi al-hifdzi (saya menerima bekasnya dengan menghafal). Dengan demikian konsep belajar dapat didefinisikan sebagai proses pencarian ilmu secara mandiri atau akibat dari aktivitas pembelajaran untuk mencapai perubahan prilaku.
Sebagai contoh konsep belajar dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 102. Kata yu‘allimu dan yata’allamun terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang ilmu sihir:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ‌ سُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُ‌وا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ‌ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُ‌وتَ وَمَارُ‌وتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ‌ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّ‌قُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْ‌ءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّ‌ينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّ‌هُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَ‌اهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَ‌ةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَ‌وْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿١٠٢
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah (2): 102).
Berdasarkan pengertian belajar di atas, maka ayat ini dapat diartikan bahwa orang-orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil pembelajaran dari keduanya. Tapi ilmu yang mereka dapatkan itu tidak bermanfaat, bahkan memberi madharat bagi mereka. Mereka melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan bimbingan guru sihir. Mereka mengikuti arahan guru sihir untuk memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malah membahayakan diri mereka. Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la yanfa’uhum” menggambarkan bahwa seharusnya objek yang dipelajari adalah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak berguna dan dapat membahayakan manusia tidak boleh untuk dipelajari. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu ini tidak dapat mendatangkan manfaat. Jadi, ilmu yang pantas dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia dan alam semesta, baik di kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.
Contoh lain memahami konsep belajar dari kata darosa dalam surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِ‌ثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَ‌ضَ هَـٰذَا الْأَدْنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ‌ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَ‌ضٌ مِّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لَّا يَقُولُوا عَلَى اللَّـهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَ‌سُوا مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ‌ الْآخِرَ‌ةُ خَيْرٌ‌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿١٦٩
Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Q.S. Al-A’raf (7): 169).
Ayat ini menjelaskan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewarisi kitab dari nabi. Mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya. Bahkan mereka menfatwakan dan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi kandungan kitab yang mereka pelajari itu hanya untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat dengan cara mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan lebih menguntungkan bagi mereka. Namun tidak semua Ahlul Kitab seperti itu. Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah mereka warisi tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168) surat yang sama.
Dalam ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan “mereka telah mempelajari isi al-Kitab”. Maksudnya, orang-orang Ahlul Kitab telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka. Seharusnya kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga mereka mengakui kerasulan Muhammad SAW. Tetapi ternyata sebaliknya; hal-hal yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh apa-apa dan tidak berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang tidak efektif. Hal itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima kebenaran atau ada kepentingan lain yang membuat mereka menolak. Dalam ayat tersebut digambarkan hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka, yaitu “ya’khudzuuna al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini). Artinya mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari segalanya sehingga pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak mendatangkan efek positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani mengubah kitab suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan.
Berdasarkan pembahasan ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa terdapat hal-hal yang dapat menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan tersebut meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik, seperti motivasi dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian pula tujuan belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan lain, termasuk pergeseran paradigma terhadap belajar dari mencari ilmu berubah menjadi mencari ijazah atau gelar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri peserta didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan atau rangsangan yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman, masyarakat, media masa, dan keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan menghambat kegiatan belajar atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga materi pelajaran tidak dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai pengetahuanya, tetapi hal-hal tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka itulah sebabnya, banyak orang yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Agar proses belajar lebih efektif, maka faktor-faktor tersebut wajib dihindari. Peserta didik harus fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka harus membuka diri terhadap kebenaran atau objek yang dipelajari. Karena jika tidak demikian, maka jiwanya akan ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya sehingga pada akhirnya membuat proses belajar tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Niat mereka perlu diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari ilmu untuk menguatkan akal agar mendapat hidayah dari Allah, sehingga ilmu yang diperoleh berpengaruh positif terhadap perilaku. Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan sekitar siswa lainnya mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang dapat menggagalkan pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah dengan orang-orang baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada sahabat.
 Konsep belajar juga harus berdampak pada prilaku yang lebih baik sebagaimana firman Allah dalam surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ‌ أَن يُؤْتِيَهُ اللَّـهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللَّـهِ وَلَـٰكِن كُونُوا رَ‌بَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُ‌سُونَ ﴿٧٩ وَلَا يَأْمُرَ‌كُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْ‌بَابًا ۗ أَيَأْمُرُ‌كُم بِالْكُفْرِ‌ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿٨٠
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
Dalam ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum tu’allimuuna al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan ajakan para nabi terdahulu terhadap ummatnya agar mereka menjadi kaum rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah. Kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa peserta didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa. Dengan demikian, ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan konsep belajar; pertama proses belajar seperti tersirat dalam katatadrusuuna’. Kedua tujuan belajar dan mengajar, yaitu terbentuknya insan rabbani di kata ‘rabbaniyyin. Para nabi telah belajar dan mengajar umatnya dengan sungguh-sungguh dan umat pun telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan oleh para nabi tersebut. Sebagai hamba Allah yang taat mari kita belajar sungguh-sungguh agar menjadi insan rabbani yang mampu mensyukuri nikmat panca indera, akal dan hati. (Wallahu A’lam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar