Konsep Belajar Manhaj Qur’ani
Di
dalam Al-Qur’an terdapat berbagai kata yang mengandung makna belajar. Membaca (قَرَأَ), memahami (فَقِهَ, فَهِـــمَ), melihat
dan memperhatikan
(رَأَى), menalar (نَظَرَ),
mendengarkan (سَــمِعَ),
mengingat / menghafal (ذَكَــرَ),
merasakan (شَعُــرَ), mempelajari (دَرَسَ), berakal (عَقِلَ),
mencari (طَلَبَ),
mengetahui (عَلِمَ), berpikir (تَفَكَّرَ), merenungkan (تَدَبَّرَ), mengambil pelajaran (اِعْتَبَرَ), اُولُوا اْلاَلْبَابِ, اُولُوا اْلاَبْصَارِ, dll. Bahkan kata (عَلِمَ) dan perubahan bentuknya disebutkan lebih dari 788 kali dalam
Al-Qur’an. Sementara kata (دَرَسَ)
disebutkan 6 kali. Dari sini bisa dipahami bahwa Allah sangat memperhatikan dan
mementingkan belajar. Allah memerintahkan umat manusia untuk belajar menggunakan
segala daya yang diberikan oleh Allah. Daya itu ditimbulkan oleh panca indera,
akal, dan hati. Di antaranya, daya melihat, mendengar, merasakan, mengingat,
imajinasi, mengetahui, menalar, menelaah, berkarya, dan daya cipta. Inilah
makna mensyukuri nikmat Allah dalam surat Al-Nahl ayat 78.
وَاللَّـهُ
أَخْرَجَكُم مِّن بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٧٨﴾
Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. Al-Nahal: 78)
Dalam
bahasa Arab kata bermakna belajar sering
menggunakan ( تَعَلَّمَ)
dan
(دَرَسَ). Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah mendapat
tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan lam
fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid sehingga menjadi ta’allama.
Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam ilmu shorf dikenal dengan
istilah fawa’id al-baab, dapat merubah makna kata tersebut. Penambahan
ta’ dan tasydid dalam kata ‘alima hingga menjadi ta’allama berfungsi
mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama
secara harfiah dapat diartikan mencari ilmu melalui pembelajaran hingga berpengaruh pada perubahan prilaku. Sementara darosa
berarti belajar secara mandiri dan berbekas. Raghib Al-Isfahani
secara harfiah memaknai kata darosa itu dengan meninggalkan bekas. Seperti yang terlihat dalam makna
ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya atsruha
(rumah itu masih ada bekasnya). Jadi, ungkapan darastu al-‘ilma sama artinya
dengan tanawaltu atsrahu bi al-hifdzi
(saya menerima bekasnya dengan menghafal). Dengan
demikian konsep belajar
dapat didefinisikan sebagai
proses pencarian ilmu secara mandiri atau akibat dari
aktivitas pembelajaran untuk mencapai perubahan prilaku.
Sebagai contoh konsep belajar dalam
Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 102. Kata yu‘allimu dan yata’allamun terulang dua
kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang ilmu sihir:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ ۚ
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا
تَكْفُرْ ۖ
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ
وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ
وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ
لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ ﴿١٠٢﴾
Dan mereka mengikuti
apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir
(tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan
sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada
dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya
Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari
dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.
dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa
yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di
akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah (2): 102).
Berdasarkan
pengertian belajar di atas, maka ayat ini dapat diartikan bahwa orang-orang
Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil pembelajaran dari keduanya. Tapi ilmu yang mereka dapatkan itu
tidak bermanfaat,
bahkan memberi madharat bagi mereka. Mereka melakukan berbagai aktivitas
sesuai dengan bimbingan guru sihir. Mereka mengikuti
arahan guru sihir
untuk
memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah
mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malah membahayakan
diri mereka. Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la
yanfa’uhum” menggambarkan bahwa seharusnya objek yang
dipelajari adalah sesuatu
yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu yang tidak berguna
dan
dapat membahayakan
manusia tidak boleh untuk
dipelajari. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir,
karena ilmu ini tidak dapat mendatangkan manfaat. Jadi, ilmu yang pantas
dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia dan alam semesta, baik di kehidupan dunia maupun
kehidupan akhirat.
Contoh lain memahami konsep belajar dari kata darosa
dalam
surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِن
بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَـٰذَا الْأَدْنَىٰ
وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ
الْكِتَابِ أَن لَّا يَقُولُوا عَلَى اللَّـهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا
فِيهِ ۗ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ
لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿١٦٩﴾
Maka datanglah
sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta
benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun".
dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula),
niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah
diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di
dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah
kamu sekalian tidak mengerti? (Q.S. Al-A’raf (7):
169).
Ayat
ini menjelaskan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut
mewarisi kitab dari nabi. Mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya. Bahkan mereka menfatwakan dan
mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi kandungan kitab yang mereka
pelajari itu hanya
untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang
mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka
terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat dengan cara
mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan
lebih menguntungkan bagi mereka.
Namun
tidak semua Ahlul
Kitab
seperti itu. Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah
mereka warisi tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168)
surat yang sama.
Dalam
ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan “mereka
telah mempelajari isi al-Kitab”. Maksudnya, orang-orang Ahlul Kitab telah
mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka. Seharusnya kegiatan
belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan
pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap
mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga
mereka mengakui kerasulan Muhammad SAW. Tetapi ternyata sebaliknya; hal-hal
yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh apa-apa dan tidak
berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang tidak efektif. Hal
itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima kebenaran atau ada
kepentingan lain yang membuat mereka menolak. Dalam ayat tersebut digambarkan
hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka, yaitu “ya’khudzuuna
al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini). Artinya
mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari segalanya sehingga
pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak mendatangkan efek
positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani mengubah kitab
suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan.
Berdasarkan
pembahasan
ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa terdapat hal-hal yang dapat
menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara kognitif, afektif
maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan tersebut meliputi
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang
berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik, seperti motivasi
dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian pula tujuan
belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan lain,
termasuk pergeseran paradigma terhadap belajar dari mencari ilmu berubah
menjadi mencari ijazah atau gelar. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor
yang berada di luar diri peserta didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan
atau rangsangan yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman,
masyarakat, media masa, dan keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa,
lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan
menghambat kegiatan belajar atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga
materi pelajaran tidak dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai
pengetahuanya, tetapi hal-hal tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka
itulah sebabnya, banyak orang yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya
bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Agar proses belajar lebih efektif, maka faktor-faktor tersebut wajib dihindari. Peserta didik harus
fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka harus membuka diri terhadap kebenaran
atau objek yang dipelajari. Karena jika tidak demikian, maka jiwanya akan
ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya sehingga pada akhirnya membuat
proses belajar tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Niat mereka perlu
diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari ilmu untuk menguatkan akal agar
mendapat hidayah dari Allah, sehingga ilmu yang diperoleh berpengaruh positif
terhadap perilaku. Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan
sekitar siswa lainnya mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang
dapat menggagalkan pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah
dengan orang-orang baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada
sahabat.
Konsep belajar juga harus berdampak pada prilaku yang lebih baik
sebagaimana firman Allah dalam surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللَّـهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ
ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللَّـهِ وَلَـٰكِن
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ
تَدْرُسُونَ ﴿٧٩﴾ وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ
وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُم بِالْكُفْرِ بَعْدَ
إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿٨٠﴾
Tidak wajar bagi
seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian,
lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar
pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan.
Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut
agama) Islam?".
Dalam
ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum tu’allimuuna
al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut
menggambarkan ajakan para nabi terdahulu terhadap ummatnya agar mereka menjadi kaum
rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah. Kesempurnaan ilmu dan takwa itu
merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi
lain. Ini artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa
peserta didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa. Dengan demikian, ayat ini secara
tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan konsep belajar; pertama proses belajar seperti tersirat dalam kata ‘tadrusuuna’. Kedua tujuan belajar dan mengajar,
yaitu terbentuknya insan rabbani di kata ‘rabbaniyyin. Para nabi telah belajar dan mengajar umatnya dengan sungguh-sungguh dan umat pun
telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan oleh para nabi tersebut. Sebagai hamba Allah yang taat
mari kita belajar
sungguh-sungguh agar menjadi insan rabbani yang mampu mensyukuri nikmat panca indera, akal dan
hati.
(Wallahu
A’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar