Kamis, 25 Desember 2014

SIKAP UMAT ISLAM TERHADAP NATAL





Setiap mendekati tanggal 25 Desember dan akhir tahun Masehi selalu heboh dengan boleh tidaknya mengucapkan Selamat Hari Natal dan mengikuti acara memperingati Tahun Baru. Boleh tidaknya memakai pakaian Sinterklas bagi para pegawai di perusahaan milik orang Kristen. Jika di hari biasa saja seperti di kegiatan Car Free Day di Jakarta terjadi proses kristenisasi terselubung, maka bagaimana di hari perayaan Natal yang harus ada toleransi? Di mimbar masjid terjadi perang nasehat. Di dunia pertelevisian yang sarat dengan kepentingan bisnis terjadi penggiringan opini bahwa hal tersebut telah menjadi budaya internasional karena efek globalisasi. Di media masa dan media sosial apalagi telah terjadi perang fatwa dan pemikiran (Ghazw al-fikr) yang lebih dahsyat dari perang melawan teroris. Hal ini membuat masyarakat muslim yang awam menjadi bingung. Mau ikut pendapat siapa? Semua memiliki dalil naqli dan alasan logis yang bisa diterima oleh akal. Tapi di sisi lain menjadikan kaum muslim terpelajar ingin tahu lebih mendalam. Hal itu dilakukan dalam rangka mencari kebenaran ajaran Islam. Minimal kebenaran yang ia yakini dan aplikasikan dalam kehidupannya agar terhindar dari godaan hawa nafsu dan syetan yang terkutuk, serta selamat di dunia dan akhirat. Beberapa pendapat ulama Islam tentang perayaan Natal sebagai beriku:


1.   Pendapat pertama, mengatakan bahwa mengucapkan selamat hari Natal, menjawab ucapan selamat Natal dari kolega dan rekan bisnis, menghadiri perayaan Natal dan bekerja sama dalam perayaan Natal, berkunjung ke saudara Kristen untuk memberi selamat dan saling memberi hadiah saat Natal adalah haram beradasarkan ijma’ para ulama dengan dalil naqli. Ini adalah pendapat Ibnu Qayyim, Syeikh Utsaimin, Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848, dan mayoritas ulama Wahabi dengan mendasarkan pada dalil naqli sebagai beriku: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2). Dan hadits Rasulullah SAW yang bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus). Serta hadits Nabi yang lain, “Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167). Adapun dalil aqli mereka karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama Kristen dan kaum pagan. Allah tidak meridhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya di dalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.

2.   MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 mengeluarkan fatwa bahwa mengucapkan Selamat Hari Natal adalah haram kecuali darurat. Dengan perincian sebagai berikut:
1)   Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keagamaan yang dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
2)   Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3) Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.

3. Pendapat ketiga dari para ulama kontemporer. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat Natal dibolehkan dengan syarat mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT namun dicintai-Nya sebagaimana Dia mencintai berbuat adil. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8). “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86). Wahbah Zuhaili membolehkan hanya sekedar basa basi (mujamalah) saja tanpa ada pengakuan terhadap keyakinan mereka. Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib. Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya. Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah dikenal dimasyarakat. Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo, serta Syeikh Muhammad Rasyid Ridho. 

4.   Quraish Shihab membolehkan mengucapkan Selamat Natal karena dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku. Dan beberapa pemikir Indonesia seperti Prof. Ali Yafie, Gus Sholah, dan Prof Ibrahim Hosen sependapat dengan Quraish Shihab. Bahkan Gus Dur lebih berani lagi dengan membolehkan menghadiri acara peringatan Natal dengan tidak mengikuti misa kebaktian, apalagi sekedar mengucapkan Selamat Natal. Hal ini karena Natal sama dengan Harlah dan Maulid di Islam dalam surat Maryam dengan bahasa ‘salamun yauma wulida’.

Menurut penulis perayaan Natal penuh dengan ritual keagamaan Nasrani dan model persembahan kaum Pagan. Menghadiri, ikut-ikutan meramaikan, serta ikut merayakan Natal termasuk yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (haram), apalagi mengikuti acara misa kebaktian. Adapun mengucapkan Selamat Natal dan menjawabnya adalah haram juga kecuali DARURAT sebagaimana fatwa MUI tahun 1981.  Batas DARURAT itu jika seseorang akan dibunuh, disiksa, diancam keluarganya, dan dipaksa mengucapkan dan menjawab selamat natal, maka ia dibolehkan mengucapkannya dengan tetap keimanan ada di hatinya. Termasuk DARURAT jika dipaksa memakai baju Sinterklas dengan ancaman PHK, maka boleh karena terpaksa dengan syarat sambil mencari pekerjaan di tempat lain untuk menyelamatkan aqidah. Jika mengucapkan dengan niat basa basi tanpa ada pembenaran keyakinan, maka lebih selamatnya (lebih baiknya) dengan mengganti ucapan tersebut dengan "Semoga mendapat hidayah, Semoga sehat, Semoga selalu berbuat baik, dll” sambil tetap menghormati keyakinan mereka dan berbuat baik kepada mereka. Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan Selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka di dalam merayakannya (aspek sosial). Itulah arti sebenarnya dari toleransi umat beragama. Seperti menjaga keamanan gereja bagi polisi muslim, menjaga parkiran, menjaga hubungan kekerabatan, dan perbuatan lain yang tidak berkaitan dengan ritual keagamaan atau penyerupaan budaya mereka.
Penulis juga mengingatkan kepada umat Islam untuk cerdas beragama dan sadar bahaya misi para misionaris. Samuel Zwimmer, Ketua Asosiasi Misionaris dalam kongresnya di Jerusalem tahun 1935, mengatakan , “ Sebenarnya tugas misionaris yang bertugas di Negara Islam adalah bukan untuk memasukkan umat Muslim ke dalam agama Kristen, sebab mereka sudah ada agama dan etika. ... Tugas tuan-tuan ialah untuk mengeluarkan manusia Muslim dari Islam, agar menjadi orang yang tidak punya hubungan lagi dengan Tuhan. Selanjutnya agar ia tidak terikat lagi dengan akhlak yang selama ini dianut oleh umat itu. Dengan cara ini berarti tuan-tuan akan menjadi pioneer dalam penjajahan di dunia Islam.” Jika misi misionaris tersebut sukses maka akan muncul generasi Islam yang sesuai dengan kehendak penjajah. Yaitu mereka tidak mengutamakan hal-hal terpenting dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting. Mereka suka santai, menganggur dan mengejar kepuasan nafsu dengan apa saja. Bahkan perkara sex dan keduniaan menjadi tujuan hidupnya. Sehingga walaupun dia belajar tapi pelajarannya adalah untuk kepuasan sex dan urusan dunia. Kalau dia mencari harta maka harta itupun untuk kepuasan sex dan berbangga-banggan. Atau kalau dia menduduki jabatan-jabatan tinggi maka jabatan itupun untuk pemuasan sex dan popularitas dunia. Pertanyaan selanjutnya, apakah hal ini sudah terjadi di Indonesia sekarang ini? Kontribusi apa yang bisa anda berikan untuk umat Islam dan bangsa Indonesia? Di manapun anda berada maka anda memiliki tanggung jawab untuk menghidupkan ghirah keislamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar