Perayaan Valentine’s Day adalah bagian dari syiar agama Nasrani.
Ikut-ikutan merayakan adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, merusak aqidah
dan akhlak. Mempropagandakan tradisi dan budaya Valentin’s Day berarti
mensyiarkan kefasikan, kemaksiatan dan budaya kaum pagan ‘menuhankan’ seorang
manusia. Mengapa begitu?
Pertama, banyak dalil
naqli dari Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang memerintahkan kita untuk
beribadah hanya kepada Allah, tidak syirik dan menyebarkan kesyirikan, serta
tidak menerupai tradisi dan budaya kaum kafir. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ
إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾
بَلِ اللَّـهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
﴿٦٦﴾
“Dan
sesungguhny telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah
kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja
yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (Az-Zumar:
65-66)
Dan Rasulullah SAW
bersabda, “ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia
termasuk kaum (agama) itu”.
Kedua, Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah menunjukkan
bahwa perayaan itu bagian dari simbol agama Nasrani. Bahkan kalau mau dirunut
ke belakang, sejarahnya berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah
Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke
dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari
raya baru yang bernama Valentine’s Day. Sebagaimana The Encyclopedia Britania,
vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut:
Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus
Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja
dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang
kebetulan mati pada 14 Februari .
Lebih detailnya
bahwa kata valentine berasal dari nama seorang pendeta, santo valentine
(seseorang yang mati karena mempertahankan kepercayaan dan keyakinan) untuk
memberkati pasangan laki-laki dan perempuan. Valentine sebenarnya adalah
seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syahid') yang kerana kesalahan dan
bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelar Saint atau Santo (orang suci). Pada
tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya dengan
penguasa Romawi pada waktu itu yaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk
mengagungkan St. Valentine, yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian
dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya
memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'. Paus Gelasius
I menjadikan hari perayaan gereja sejak tahun 496 M.
Ketiga, Ada semacam proses
sinkritisme budaya dan kesepakatan untuk menyatukan tradisi Romawi Kuno yang
pagan, ritual keagamaan Nasrani dan budaya Eropa. Sejak abad 16 M, upacara
keagamaan Valentine’s Day tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah
menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Secara kronologis Hari Valentine dihubungkan
dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis”
yang jatuh pada tanggal 15 Februari. Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama
Nasrani, pesta 'supercalis' yang sangat digemari tersebut ditradisikan dalam
upacara kematian St. Valentine oleh pihak Gereja. Penerimaan upacara kematian
St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' lalu ditradisikan dan dicampur
adukkan dengan kepercayaan orang Eropa bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai
bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari. Sebagaimana
terbukti bahwa meningkatnya libido hewan mencapai puncaknya di pertengahan
bulan. Apalagi jika dikaitkan dengan kepercayaan mereka bahwa tanggal 14 Februari
juga terjadi peristiwa besar yaitu kehancuran kerajaan Islam di Spanyol.
Keempat, secara nyata
dan kasat mata, ternyata semangat valentine
adalah semangat berzina, na’udzubillah min dzalik. Dalam semangat hari
Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan
larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan,
berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu
menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan
nafsu libido biasa. Jadi, perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini
mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait
erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat. Kemudian di masa Nasrani
dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama. Di masa sekarang ini Valentine’s
Day identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana
seperti greeting card, pesta persaudaraan, tukar
kado(bertukar-tukar memberi hadiah), kencan, hingga
penghalalan praktek zina secara legal tanpa ingin mengetahui latar
belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu. Semua dengan mengatas namakan semangat cinta kasih
atau kasih sayang.
Yang sangat mengherankan
adalah sampai saat ini saya belum menemukan fatwa ‘haram’ atas nama institusi
kecuali himbauan secara lisan maupun tertulis dari para pimpinan MUI. Apakah
ini salah satu bentuk toleransi umat Islam? Toleransi umat beragama? Sebagai
contoh himbauan Ketua MUI Pusat Bidang Remaja dan Budaya KH A Cholil Ridwan
dalam surat elektronik yang diterima Suara Islam Online, Selasa
(11/2/2014). Beliau berkata, "Saya sebagai Ketua MUI Pusat menyerukan kepada
kaum muslimin dan muslimat se-Indonesia agar mengabaikannya, karena VD adalah
bagian dari perayaan agama lain dan bukan budaya Islam dan juga bukan budaya
Indonesia," Demikian pula KH Abdullah Cholil,
pemimpin NU Jatim berkata: "Kami melarang Muslim merayakan Hari
Valentine”. Hari tersebut sering dirayakan oleh anak-anak muda yang belum
menikah. Mereka merayakannya dengan berpegangan tangan atau melakukan free-sex,
hal yang tidak seharusnya dilakukan”,
Dari sini dapat diambil simpulan bahwa moment
Valentine’s Day ini bukan saja lebih bercorak kepercayaan yang berusaha untuk merusak
akidah dan akhlak seorang muslim dan muslimah, sekaligus memperkenalkan gaya
hidup Barat yang matrialistis, kapitalis dan bebas nilai dengan kedok
percintaan, perjodohan dan kasih sayang. Padahal dalam Islam kasih sayang itu
bisa diungkapkan kapan saja, tidak harus menunggu 14 Februari. Kasih sayang itu
tidak hanya beberapa saat dari satu hari dan tidak juga satu hari saja dari
banyak hari dalam satu tahun. Kasih sayang dan cinta sejati adalah yang
diniatkan karena dan untuk Allah. Cinta yang tulus karena Allah kepada istri,
suami, anak, orang tua, guru, teman dakwah, apalagi cinta kepada teladan umat Rasulullah
SAW. Saya jadi teringat firman Allah dalam surat Al-Zukhruf ayat 67 (Semoga
kita terhindar dari orang-orang yang bermusuhan karena cinta):
Orang-orang
yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi
sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’